Senin, 19 November 2012

UTS Etika Profesi : Embryo Yatim Piatu

Kasus :

Asep Jatnika dan Shinta Bella adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama 8 tahun dan belum dikaruniai anak. Pada tahun 2011, pasangan suami istri ini mendatangi Klinik Bunda Ceria dan meminta jasa klinik tersebut untuk bisa mendapatkan anak melalui teknik in vitro fertilization (IVF). Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya diperoleh delapan embryo yang siap diimplantasikan. Empat dari delapan embryo yang diperoleh kemudian diimplantasikan kedalam kandungan Ny. Shinta Bella, sementara empat embryo lainnya, atas permintaan suami istri tersebut, disimpan dalam keadaan beku untuk digunakan dikemudian hari.
Delapan bulan kemudian, Ny. Shinta Bella melahirkan dua orang bayi kembar laki-laki dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Tahun ke tiga setelah kehamilannya, pasangan tersebut berencana untuk memiliki anak ketiga dengan menggunakan embryo mereka yang tersimpan di Klinik Bunda Ceria. Namun, sebelum niat iu terlaksana, keluarga ini mengalami kecelakaan tragis yang mengakibatkan seluruh anggota keluarga Asep Jatnika (suami, istri dan kedua anak mereka) meninggal dunia. Keadaan ini baru diketahui tiga tahun kemudian oleh klinik Bunda Ceria, ketika mereka berusaha menghubungi (alm) Bapak Asep Jatnika untuk meminta ijin penggunaan embryo keluarga tersebut pada penelitian sel punca embryonik (embryonic stem cell) oleh sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung. Penelitian tersebut telah mendapatkan ijin dari pihak yang berwenang dan para peneliti berharap dapat menggunakan embryo milik keluarga Asep Jatnika pada penelitian mereka.

Pertanyaan :
1. Apakah klinik IVF memiliki wewenang untuk menyerahkan embryo “yatim-piatu” keluarga Asep Jatnika kepada tim peneliti sel punca ? Menurut pertimbangan saudara siapa yang berhak terhadap embryo “yatim-piatu” keluarga Asep Jatnika.
2. Jika saudara merupakan orang yang berhak untuk menerima embryo “yatim-piatu tersebut” apa yang akan saudara lakukan terhadap embryo tersebut ?
a. Memperbolehkan embryo tersebut digunakan untuk penelitian sel punca
b. Terus menyimpan embryo tersebut
c. Memusnahkan embryo tersebut
d. Menawarkan embryo tersebut untuk diadopsi oleh keluarga lain
e. Menjual embryo tersebut kepada pihak pihak yang membutuhkan

Studi kasus ini diadaptasi dari The Orphan Embryos:
A Case Study in Bioethics (Iowa State University, USA)
http://www.bioethics.iastate.edu/classroom/orphanembryos.html yang ditulis oleh :
1. Maria M. C. de Gouveia, Dept. Biology, University of Madeira, Portugal
2. Enrique Ianez Pareja, Dept. Microbiology, University of Granada, Spain
3. Donald Sakaguchi, Neuroscience Program, Iowa State University, USA
4. Heloisa G. dos Santos, Hospital S. Maria and Faculdade Medicina, Univ. de Lisboa, Portugal
5. Peter Whittaker, National University of Ireland, Ireland

Analisis :

1. Pendahuluan

a. IVF (In Vitro Fertilization)

In vitro fertilization atau dikenal dengan proses bayi tabung adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita (Heru, 2011). Teknik bayi tabung ini dikembangkan untuk membantu pasangan infertil yang ingin mempunyai keturunan. Wanita distimulasi dengan hormon agar dapat memberikan sejumlah sel telur sekaligus. Secara normal, sel telur didedahkan dengan sperma dalam kondisi lingkungan yang diatur menyerupai kondisi alami bagian anterior oviduct dimana fertilisasi internal terjadi, selanjutnya akan dihasilkan sel telur yang sudah terfertilisasi dan terbentuklah embrio. 
Embrio-embrio terbaik yang dihasilkan akan diinkubasi hingga berkembang menjadi blastokista. Biasanya jumlah blastokista yang diimplan di dalam uterus wanita adalah tiga buah. Embrio lainnya dapat disimpan dengan nitrogen cair selama waktu tertentu sebagai cadangan manakala kehamilan yang diharapkan gagal atau untuk penggunaan di masa yang akan datang saat pasangan suami istri tersebut ingin memperoleh keturunan lagi.


Gambar 1. Proses IVF (In Vitro Fertilization) (Anonim 1, 2012)

Walaupun kini teknologi bayi tabung telah diterima dan dikenal oleh sebagian besar masyarakat, namun pada awal perkembangannya teknik ini juga menuai perdebatan secara etika. Berikut ini adalah sudut pandang Islam mengenai bayi tabung dan pedoman hukum pelaksanaan bayi tabung yang berlaku di Indonesia.

Teknik IVF dari Sudut Pandang Islam
Proses bayi tabung atau teknik IVF dalam Islam hukumnya adalah mubah atau boleh dilakukan jika memang pasangan suami istri yang akan melakukan proses tersebut memang benar-benar membutuhkan karena dengan proses pembuahan secara alami pasangan suami istri tersebut sulit memperoleh anak. MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga sudah mengeluarkan fatwa bahwa bayi tabung diperbolehkan asalkan sel telur dan sperma berasal dari pasangan suami istri yang sah serta embrio hasil bayi tabung tersebut diimplan ke dalam rahim istri tersebut. Bayi tabung haram jika embrio diimplan ke rahim wanita lain (surogasi) atau sperma berasal dari sperma beku yang berasal dari pasangan yang tidak sah (Anonim 2, 2011).

Pedoman Hukum Pelaksanaan IVF di Indonesia
Pelaksanaan proses IVF atau bayi tabung di Indonesia diatur dan dijelaskan dari hukum perdata, Undang-Undang Kesehatan, serta Keputusan Menteri Kesehatan. Menurut pandangan hukum perdata penjelasan mengenai proses bayi tabung dikelompokkan berdasarkan sumber sel telur dan spermanya, seperti dijelaskan berikut ini :
a. Jika benih berasal dari suami istri
  • Jika benih berasal dari suami istri, dilakukan proses fertilisasi in vitro, kemudian embrio ditransfer ke dalam rahim istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai status sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan keperdataan lainnya.
  • Jika implantasi embrio ke dalam rahim ibu terjadi saat ibu telah bercerai dengan suaminya, maka jika anak tersebut lahir sebelum 300 hari perceraian, anak mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah 300 hari, maka anak itu bukan anak sah suami dan tidak memiliki hubungan keperdataan dengan bekas suami ibunya tersebut (Dasar Hukum pasal 255 KUH Perdata).
  • Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang bersuami, maka  secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil bukan pasangan yang mempunyai benih (Dasar Hukum pasal 42 UU No.1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata).
b. Jika salah satu benih berasal dari donor
  • Jika suami mandul dan istri subur maka proses IVF dapat dilakukan sesuai dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur istri akan dibuahi oleh sperma donor. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan kecuali suami menyangkalnya dengan melakukan tes DNA (Dasar Hukum pasal 250 KUH Perdata).
 • Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut (Dasar Hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata).
c. Jika semua benih berasal dari donor
  • Jika sel telur dan sperma berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita yang terikat perkawinan maka anak yang dilahirkan mempunyai status sah dari pasangan suami istri tersebut.
  • Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan anak tersebut bukan pula anak biologisnya.

Undang Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 juga menjelaskan tentang proses bayi tabung. Pada pasal tersebut dituliskan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c. pada fasilitas kesehatan.

Selain itu proses penyelenggaraan IVF atau bayi tabung ini juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan ketentuan umum, perizinan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Selanjutnya Keputusan Menteri tersebut dibuat instrumentasinya dengan disusunnya Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Kementrian Kesehatan RI, yang berisi :
a. Pelayanan teknik reproduksi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami istri yang bersangkutan.
b. Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
c. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari tiga embrio, boleh dipindahkan 4 embrio jika dalam keadaan seperti :
  • rumah sakit memiliki tiga tingkat perawatan intensif bayi baru lahir,
 • pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal,
  • istri berumur lebih dari 35 tahun
d. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.
e. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ovum, atau embrio.
f. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian. Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas.
g. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi.
h. Sel telur yang telah dibuahi oleh sperma manusia tidak boleh dibiakkan secara in vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu simpan beku).
i. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ovum, spermatozoa, atau embrio tanpa seijin dari siapa sel ovum atau sperma tersebut berasal.
j. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi trans-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fertilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap dua sel.


b. ESC (Embryonic Stem Cell)
Embryonic stem cell atau sel punca embrionik adalah sel punca yang berasal dari embrio pada fase blastokista yang memiliki kemampuan pluripotensi atau memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi seluruh tipe sel namun tidak dapat membentuk struktur ekstra-embrionik (Mummery et al., 2011). Sel punca embrionik diperoleh dengan cara mengisolasi inner cell mass (ICM) dari embrio pada fase blastokista yang berumur 5-7 hari setelah pembuahan.


Gambar 2. Sel Punca Embrionik (Anonim 3, 2010)

Penelitian mengenai sel punca embrionik dilakukan karena saat ini telah diketahui bahwa sel punca embrionik memiliki prospek sebagai sebuah terapi pengobatan untuk menyembuhkan banyak penyakit yang saat ini sulit diobati sepeti, Alzheimer, Parkinson, Diabetes, Jantung, Kanker, Leukemia, Sickle Cell Anemia, penyakit imunodefisiensi, dan penyakit retina. Inner cell mass yang diisolasi kemudian dikultur secara in vitro di laboratorium dengan kondisi tertentu dengan menggunakan medium spesifik. Setelah bereplikasi beberpa kali dan membentuk banyak sel kemudian sel tersebut dapat diinduksi dengan faktor tumbuh tertentu untuk berdiferensiasi menjadi sel yang diinginkan.


Gambar 3. Penelitian Sel Punca Embrionik (Anonim 4, 2012)

Secara umum terdapat tiga cara untuk mendapatkan sel punca embrionik (Korenman, 2006) yaitu:
Sel telur dan sperma berasal dari donor kemudian dilakukan pembuahan secara in vitro. Setelah zigot terbentuk lalu berkembang menjadi blastokista, inner cell mass diisolasi dan dirangsang untuk membelah dalam medium kultur. Selanjutnya sel-sel yang dipindahkan tersebut diinduksi menjadi kumpulan sel (cell line) dan dengan faktor tumbuh tertentu sel akan berdiferensiasi menjadi sel yang diinginkan.
Inner cell mass diperoleh dari embrio-embrio tahap blastokista yang berasal dari sisa proses bayi tabung (IVF).
Metode SCNT (Somatic Cell Nuclear Transfer). Pada metode ini, sel telur berasal dari donor wanita yang melalui proses superovulasi. Inti sel telur yang mengandung materi genetik kemudian dipindahkan dan diganti dengan materi genetik dari sel dewasa (misal penderita penyakit yang ingin menjalani terapi sel punca). Setelah sel berkembang menjadi blastokista kemudian bagian inner cell massnya diambil untuk menjadi kumpulan sel punca embrionik.

Sama halnya dengan teknologi bayi tabung, penelitian dan pengembangan sel punca embrionik juga menghadapi masalah etika. Perdebatan yang muncul dari teknologi ini adalah penggunaan embrio manusia sebagai bahan penelitian. Proses pengisolasian inner cell mass dari blastokista dapat menyebabkan degradasi atau kerusakan embrio. Kelompok yang menolak penelitian sel punca embrionik berpendapat bahwa tindakan yang menyebabkan kerusakan embrio tersebut sama halnya dengan membunuh atau setara dengan tindakan aborsi. Kelompok ini berpendapat bahwa kehidupan dimulai saat terjadi pembuahan atau konsepsi. Kelompok yang mendukung penelitian sel punca embrionik berpendapat bahwa blastokista hanyalah sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi dan belum ada kehidupan disana sehingga tindakan tersebut bukanlah tindakan menghilangkan nyawa. Lagipula penelitian tentang sel punca embrionik ini akan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia kelak.

Pandangan Islam Terhadap Penelitian Sel Punca Embrionik
Agama Islam sangat mendukung pengembangan ilmu pengetahuan terlebih lagi jika hal tersebut untuk kebaikan umat manusia bahkan ayat Al Quran yang pertama kali turun surat Al Alaq ayat 1-5 memerintahkan kita untuk membaca, arti kata membaca disini maksudnya adalah bahwa kita harus mempelajari segala fenomena alam dan kehidupan yang ada di muka bumi ini.
Mengenai penelitian tentang sel punca embrionik, Islam memperbolehkan penelitian sel punca embrionik karena berdasarkan hadits Bukhari-Muslim berikut :

“Telah bersabda Rasulullah SAW dan dialah yang bena dan dibenarkan. Sesungguhnya seorang diantara kamu dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim ibunya (embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan segumpal darah. Kemudian selama itu juga (empat puluh hari) dijadikan sepotong daging. Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya (untuk menuliskan/menetapkan) empat kalimat (macam): rezekinya, ajalnya (umur), amalnya, dan buruk baik (nasibnya).”

Diketahui bahwa embrio diberikan kehidupan oleh Allah SWT dengan cara ditiupkannya ruh pada saat embrio berusia 120 hari atau empat bulan. Penelitian sel punca embrionik menggunakan embrio yang berusia kurang dari 120 hari yaitu berusia 5-7 hari. Menurut pandangan ulama Muhammadiyah juga disebutkan bahwa penelitian atau penggunaan sel punca embrionik boleh dilakukan jika sel punca embrionik merupajan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa manusia dan sel-sel yang diambil berasal dari embrio sisa program bayi tabung yang sperma dan sel telurnya berasal dari pasangan suami istri yang sah (Anonim 5, 2008).

Pedoman Hukum yang Berlaku di Indonesia
Di Indonesia penggunaan dan penyelenggaraan sel punca diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 833/Menkes/Per/IX/2009. Selain itu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Per/II/1999 melalui Pedoman Pelayanan Bayi Tabung oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta Kementrian Kesehatan RI terdapat poin yang menyebutkan bahwa larangan penggunaan embrio untuk penelitian adalah embrio yang berusia lebih dari 14 hari. 

2. Penentuan Status Moral Embryo
Penentuan status moral embryo penting untuk dilakukan sebagai analisis untuk menyelesaikan kasus embryo yatim piatu di atas. Jika sesuatu memiliki status moral maka ia tidak bisa menerima perlakuan yang semena-mena. Status moral suatu entitas sebenarnya bergantung kepada sifat-sifat intrinsik kemanusiaan yang dimilikinya. Sifat-sifat yang hanya menunjukkan karakteristik biologis tidak cukup untuk menentukan apakah suatu entitas memiliki status moral atau tidak. 

Menurut Baertschi (2008) sifat intrinsik yang dapat menunjukkan kemanusiaan suatu entitas adalah mampu menunjukkan kemampuan berpikir secara konseptual dan kapasitas untuk bertindak sebagai agen moral, misalnya menginginkan keadilan, dapat mengungkapkan pendirian atau pendapat dengan baik, dapat menjadi penilai karakter, dapat bersifat munafik dan tidak puas diri. Hal ini juga diungkapkan melalui pandangan The Person (Warren dalam Steinbock, 2006) bahwa ciri paling sentral yang menunjukkan kemanusiaan sesuatu adalah kesanggupan dalam merasa atau sentience (kapasitas untuk mengalami kesenangan dan kesakitan), kesadaran, kesadaran diri, memiliki kemampuan untuk melakukan reasoning atau berpikir, memiliki motivasi dalam diri, memiliki kemampuan dalam berbahasa.

Menurut Joel Feinberg (1974) dalam Steinbock (2006) melalui teorinya yaitu interest principle, sesuatu yang memiliki hak atau yang memiliki status moral adalah sesuatu yang bisa memiliki dan melindungi kepentingannya. Yang dimaksud kepentingan (interest) disini menurut Feinberg yaitu “interest are connected to what we care about or want, to our concerns and goals, to what is important or matters to us” yang berarti sesuatu yang sangat kita inginkan dan sangat penting bagi kita. Interest ini sangat erat kaitannya dengan sentience atau kesanggupan merasa karena tentunya untuk memiliki interest kita harus memiliki sentience. Maka dari pandangan ini disimpulkan bahwa semua yang memiliki sentience (sentient being) berarti memiliki status moral. Berdasarkan ketiga pandangan yang telah disebutkan, dapat dengan jelas dikatakan bahwa embryo tahap blastokista yang berumur 5-7 hari belum memiliki status moral. Begitu pula dengan pandangan dari Marquis and FLO Account yang juga menyatakan bahwa embryo umur 5-7 hari belum memiliki status moral (Steinbock, 2006). Namun, bukan berarti jika sesuatu yang tidak memiliki status moral dapat diperlakukan dengan semena-mena. Sesuatu yang tidak berstatus moral bisa mendapatkan perlindungan karena nilai moral yang dimilikinya (Steinbock, 2006). 
  
3. Penentuan Hak atas Embyo
Berdasarkan Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Kementrian Kesehatan RI, telah jelas dikatakan bahwa klinik atau rumah sakit yang melakukan pelayanan bayi tabung tidak boleh memperjualbelikan sperma, sel telur, dan embryo serta dilarang untuk melakukan penelitian atau eksperimen terhadap dan atau menggunakan embrio, sel telur, dan atau sperma tanpa izin khusus dari siapa sel telur, sperma, atau embryo tersebut diperoleh. Jadi dapat disimpulkan bahwa Klinik Bunda Ceria tidak berhak dan tidak memiliki wewenang untuk menyerahkan embryo tersebut kepada peneliti dari universitas tanpa meminta izin atau memiliki kesepakatan dengan pemiliknya.

Dalam kasus ini pemilik embryo tersebut yakni Asep Jatnika dan Shinta Bella tidak diketahui apakah sudah memiliki kesepakatan atau perjanjian dengan Klinik Bunda Ceria tentang siapa yang berhak dan apa yang harus dilakukan terhadap sisa embryo yang dimilikinya jika mereka meninggal atau tidak memiliki kemampuan untuk menentukan. Oleh karena itu berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa embryo tersebut tidak memiliki status moral maka embryo dapat disebut sebagai “benda” hidup kemudian dikategorikan ke dalam harta waris dan yang berhak serta berwenang atasnya adalah ahli waris.

Menurut hukum acara perdata harta warisan memiliki definisi semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris) baik harga benda itu sudah dibagi atau belum dibagi. Harta benda atau harta kekayaan yang ditinggalkan tersebut dapat berupa yang bersifat aktiva yaitu sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa taguhan/piutang kepada pihak ketiga. Selain itu benda yang bersifat aktiva dapat pula berupa hak immaterial contohnya hak cipta. Selanjutnya yang bersifat pasiva, yaitu sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban lainnya, contohnya menyimpan benda pada orang lain. Namun jika ditinjau dari segi bahasa Arab pengertian objek waris sangat luas tidak hanya terbatas pada harta benda melainkan bisa juga berupa ilmu, kebesaran, kemuliaan, dan sebagainya sesuai dengan sabda Rasulullah “Para ulama adalah ahli waris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan uang dirham atau uang dinar, melainkan mewariskan ilmu. Maka barangsiapa memperoleh ilmu. Ia telah memperoleh bagian warisan para nabi yang melimpah.” Sedangkan ditinjau dari ilmu Faraidh, harta yang dipindahkan hak pemilikannya dapat berupa harta, tanah, maupun hak-hak lain yang sah (Al Sabouni, 2005). Oleh karena itu, embryo berdasarkan penjelasan di atas juga dapat dimasukkan ke dalam kategori harta warisan.

Berdasarkan hukum waris Islam, ada dua kelompok ahli waris dari kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Ahli waris kelompok laki-laki terdiri dari :
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
c. Ayah
d. Kakek yang shahih dan seterusnya ke atas
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak lelaki dari saudara laki-laki sekandung
i. Anak lelaki dari saudara laki-laki seayah
j. Saudara laki-laki ayah (paman) sekandung
k. Saudara laki-laki ayah (paman) seayah
l. Anak lelaki dari paman sekandung
m. Anak lelaki dari paman seayah
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya

Selanjutnya ahli waris kelompok perempuan terdiri dari :
a. Anak perempuan
b. Ibu
c. Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
d. Nenek yang shahih dan seterusnya ke atas (ibu dari ibu)
e. Nenek yang shahih dan seterusnya ke atas (ibu dari ayah)
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Saudara perempuan seibu
i. Istri
j. Perempuan yang memerdekakan budak

Pedoman mengenai ketentuan pembagian warisan berdasarkan hukum Islam dijelaskan di dalam Al Quran surat Annisa ayat 11 yaitu : 

“Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua. Untuk dua orang ibu bapak, untuk masing-masingnya seperenam dari peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga, tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutang-hutangnya. Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui, siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfaatnya kepadamu. Inilah suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Berdasarkan penjelasan di atas maka yang menjadi ahli warisnya adalah ibu, ayah, dan saudara-saudara sekandung. 

4. Tindakan Selanjutnya Terhadap Embryo
Jika saya adalah salah satu ahli waris embryo Asep Jatnika dan Shinta Bella, maka saya beserta ahli waris lainnya harus bermusyawarah untuk menentukan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan terhadap embryo tersebut. Keputusan mengenai tindakan tersebut harus merupakan persetujuan dari seluruh ahli waris. 

Dari kelima pilihan tindakan yang diberikan maka pilihan yang paling mungkin dilakukan adalah memperbolehkan embryo tersebut digunakan untuk penelitian sel punca embrionik atau tetap menyimpannya di Klinik Bunda Ceria. Pilihan lain seperti menjual embryo kepada pihak yang membutuhkan, jelas tidak diperbolehkan oleh peraturan (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan), jika dilakukan maka saya dapat dikatakan melanggar hukum. Demikian pula dengan pilihan untuk memusnahkan embryo. Kata “memusnahkan” sama dengan melakukan tindakan semena-mena dan merupakan tindakan yang “menyia-nyiakan” embrio. Walaupun pada penjelasan sebelumnya telah disimpulkan bahwa embryo tidak memiliki status moral tetapi bukan berarti kita dapat melakukan tindakan yang semena-mena. Embrio memiliki nilai moral yang patut pula dihargai, analoginya sama dengan bendera sebagai lambang negara atau Al Quran sebagai kitab suci umat Islam. Pilihan untuk menawarkan embryo tersebut untuk diadopsi oleh keluarga lain juga tidak mungkin dilakukan. Secara hukum perdata memang jelas jika embryo diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami atau terikat perkawinan maka anak tersebut secara yuridis adalah sah sebagai anak pasangan penghamil bukan anak pasangan dimana benih berasal (Dasar Hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata). Namun, secara hukum agama (agama Islam) hal ini akan menimbulkan kerancuan mengenai status mahram (siapa yang haram untuk dinikahi) dan sistem pembagian warisan.

Ada beberapa alasan mengapa saya memilih memperbolehkan embryo untuk digunakan dalam penelitian sel punca embrionik. Pertama, berdasarkan teori etika saya memilih untuk bersikap konsekuensialis. Prinsip konsekuensialisme berfokus pada hasil akhir dari kegiatan yang dilakukan, bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan hasil akhir yang diperoleh. Suatu tindakan akan dinilai baik ketika menghasilkan sesuatu yang baik atau utilitarian artinya tindakan yang dilakukan untuk memperoleh sebesar-besarnya manfaat (Holsinger, 2009). Penelitian sel punca embrionik telah diketahui akan menghasilkan manfaat yang besar dalam dunia medis sebagai terapi pengobatan. Kedua, dalam prinsip bioetika terdapat istilah beneficence (menghasilkan kebaikan dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan keburukan) serta least harm (meminimalkan kemungkinan bahaya atau kerugian yang timbul atas suatu tindakan yang dipilih) (Rainbow, 2002), kedua prinsip ini menjadi acuan dalam memilih tindakan yang harus dilakukan. 

Ketiga, ayat Al Qur’an yang pertama diturunkan, yaitu Iqra (QS: Al Alaq 1-5), memerintahkan agar umat Islam mendalami ilmu dengan membaca ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat kauliyah (Al Qur’an) maupun ayat-ayat kauniyah (alam). Selanjutnya, banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan mempelajari ilmu pengetahuan yang Allah SWT tunjukkan, termasuk ilmu pengetahuan berhubungan dengan makhluk hidup (misalnya penciptaan, tingkah laku, pertumbuhan, dan sebagainya). Tidak terkecuali tentunya dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan stemcell research, apalagi di dalam ilmu tersebut terkandung manfaat yang sangat besar bagi berjuta umat manusia yang mengalami penderitaan akibat sakit yang tiada berkesudahan dan sulit dicari obatnya 

5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka Klinik Bunda Ceria tidak memiliki wewenang untuk menyerahkan embryo dari Asep Jatnika dan Shinta Bella kepada peneliti sel punca embrionik. Ahli waris adalah orang-orang yang berwenang dalam menentukan tindakan selanjutnya terhadap embrio. Untuk memutuskan tindakan apa yang harus dipilih perlu dipertimbangkan berbagai aspek, menimbang baik buruk, serta seberapa besar manfaatnya namun tetap memenuhi unsur etis dan moral. Dalam kasus ini dipilih tindakan untuk memperbolehkan embryo digunakan dalam penelitian sel punca karena pertimbangan manfaat yang akan diperoleh.




Daftar Pustaka
Al Soubuni, M. A. 2005. Hukum Kewarisan Menurut Al Quran dan Sunnah. Dar Al Kutub Al Islamiyah : Jakarta.
Anonim 1, 2012. In Vitro Fertilization. http://www.meditourcz.com/medicalprocedure/ivf-fertilization/. Tanggal Akses : 21 Oktober 2012.
Anonim 2, 2012. Mengurai Hukum Bayi Tabung. http://www.bayitabung.net/category/hukum-bayi-tabung. Tanggal Akses : 21 Oktober 2012.
Anonim 3. 2010. Mengenai Stem Cell. Dalam Science Biotech. University of California Regents, US. Diakses Sabtu, 29 September 2012. Tersedia di http://sciencebiotech.net/mengenal-stem-cell/
Anonim 5, 2008. Semua pemuka agama Indonesia melarang penggunaan stem cell yang haram hukumnya menurut agama. http://teknologitinggi.wordpress.com/2008/07/27/semua-pemuka-agama-indonesia-melarang-penggunaan-stem-cells-yang-haram-hukumnya-menurut-agama/. Tanggal Akses : 21 Oktober 2012.
Baertschi, Bernard. 2008. The question of embryo’s moral status. Bioethica Forum. Vol 1 No.2.
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
Holsinger, Kent. 2009. Conseqentialist vs. Non-consequentialist theories of ethics.http://darwin.eeb.uconn.edu/eeb310/lecture-notes/value-ethics/node3.html. Tanggal Akses : 13 Oktober 2011.
Korenman, Stanley G. 2006. Human Embryonic Stem Cell Research. Dalam Teaching the Responsible Conduct of Research in Humans (RCRH). Diakses Sabtu, 29 September 2012. Tersedia di http://ori.hhs.gov/education/products/ucla/chapter7/page01.htm 
Mummery, C., I Wilmut, A. van de Stolpe dan B.A.J. Roelen. 2011. Stem Cells Scientific Facts and Fiction. Elsevier. California, USA.
Quran Surat Annisa, Ayat 11.
Rainbow, Catherine. 2002. Description of ethical theoris and principles.http://www.bio.davidson.edu/people/kabernd/indep/carainbow/Theories.htm. Tanggal Akses : 15 Oktober 2011.
Steinbock, Bonnie. 2007. The Oxford Handbook of Bioethics. Oxford University Press : New York.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 834/MENKES/SK/IX/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca.
Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Pasal 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar