Rabu, 26 Desember 2012

POTENSI BISNIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

POTENSI BISNIS KEANEKARAGAMAN HAYATI : UMBI TAKA

I. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Manusia membutuhkan makanan sebagai sumber energi untuk melakukan segala aktivitas dalam hidupnya. Karbohidrat adalah salah satu komponen nutrien penghasil energi bagi tubuh, satu gram karbohidrat memiliki nilai energi sebanyak empat kalori. Sebagian besar penduduk Indonesia memenuhi kebutuhan karbohidratnya dari beras. Beras merupakan panganan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia. Kebutuhan beras di Indonesia kini semakin tinggi, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Kemendagri, jumlah penduduk Indonesia per Desember 2010 mencapai 259.940.857 jiwa, artinya jika rata-rata konsumsi beras sebanyak 316 gram per kapita per hari maka jumlah beras yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah 2,7-2,8 juta ton per bulan. Pada kenyataannya, produksi beras di Indonesia belum bisa mengimbangi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor beras dari negara-negara lain di Asia yaitu Vietnam, Thailand, dan China. Jumlah impor beras Indonesia bukan angka yang kecil, pada Januari hingga November 2011, total beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 2,5 juta ton (Hida, 2012).

Selain beras, tepung terigu juga merupakan salah satu sumber karbohidrat yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Saat ini, tepung terigu merupakan bahan baku utama yang digunakan dalam membuat roti, mie, dan kue oleh penduduk Indonesia. Jumlah konsumsi tepung terigu di Indonesia menurut data APTINDO (Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia) mencapai 1,22 juta ton pada kuartal I-2012. Sama halnya seperti beras, sebagian besar kebutuhan tepung terigu dalam negeri masih diimpor dari negara lain. Menurut data APUPL (Asosiasi Pelaku Usaha Pangan Lokal), saat ini impor tepung terigu sudah mencapai 7,1 juta ton per tahun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun lalu yaitu 6,7 ton per tahun. Untuk mengatasi permasalahan ini, sebenarnya pemerintah telah berupaya mengeluarkan program-program ketahanan pangan untuk mengurangi ketergantungan sumber pangan dari luar negeri, misalnya dengan program penurunan konsumsi beras (“Two Days No Rice”) atau dengan diversifikasi pangan.

Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi, sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk melakukan diversifikasi pangan. Masih banyak tanaman lain yang dapat dijadikan sebagai sumber karbohidrat dan pengganti tepung terigu karena kandungan karbohidratnya tinggi serta karakteristiknya mirip dengan tepung terigu, misalnya umbi-umbian. Salah satu jenis umbi-umbian yang memiliki potensi tinggi sebagai pengganti beras atau tepung terigu adalah Tacca leontopetaloides atau umbi Taka. Dalam tulisan ini selanjutnya akan dibahas mengenai profil dan karakteristik tumbuh umbi Taka serta prospek budidaya dan bisnis umbi Taka.


II. Tacca leontopetaloides

a. Taksonomi
Tacca leontopetaloides merupakan tumbuhan herba berbunga dan memiliki umbi. Berikut ini adalah taksonominya :
Kingdom       : Plantae
Filum           : Tracheophyta
Kelas           : Liliopsidae
Ordo           : Liliales
Famili  : Dioscoreaceae 
Genus  : Tacca
Spesies  : T. leontopetaloides (L.) Kuntze, 1891 

Tacca leontopetaloides memiliki banyak sinonim. Di Indonesia sendiri ada beberapa sebutan yang diberikan pada tumbuhan ini. Secara umum nama Indonesia dari Tacca leontopetaloides adalah umbi Taka. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, umbi Taka dikenal dengan nama Kecondang. Penduduk Jawa Barat, khususnya di daerah Garut, menyebutnya dengan Jalawure. Di Sumatra, Tacca leontopetaloides disebut dengan Taka Laut. Di luar negeri ada beberapa nama yang digunakan untuk tumbuhan ini. Daerah Polinesia dan Afrika menyebutnya dengan Arrowroot, sedangkan daerah lain menyebutnya dengan Sea shore bat lily. Di Filipina disebut dengan Yabyaban dan di Madagaskar disebut dengan Kabitsa.

b. Karakteristik

Tacca leontopetaloides merupakan herba tegak dengan tinggi antara 1,5 – 2,0 m, tidak berkayu dan tidak bercabang. Tumbuhan ini berakar serabut dan memiliki umbi yang berbentuk bulat agak melebar, kulit umbinya tipis dan halus (Gambar 1). Kulit ini berwarna putih pada yang muda, dan akan berubah menjadi abu-abu tua kecokelatan. Daunnya berpelepah (melekat pada batang), berwarna hijau muda berbintik putih kehijauan atau ungu kehitaman. Helaian daun bentuknya agak membundar (bundar telur) dan susunannya membentuk segi lima. 


Gambar 1. Umbi Taka

Reproduksinya dapat secara secara vegetatif (dengan menggunakan umbi) atau reproduktif (dengan menggunakan biji). Perbungaan menyerupai payung dengan jumlah bunga 20-40 buah. Brateanya berwarna hitam legam atau kecokelatan. Bunganya berwarna kekuningan sampai kehijauan. Buahnya agak membulat dan berwarna kuning jingga muda. Bijinya berbentuk pipih membundar dan berwarna kuning kecokelatan. Berikut ini gambar tumbuhan Tacca leontopetaloides :


   
Gambar 2. Tacca leontopetaloides

c. Habitat

Habitat alami umbi Taka adalah di wilayah pesisir tropis. Umbi Taka sering kali ditemukan dalam kelompok kecil di tipe vegetasi pantai dengan ketinggian di bawah 200 m alt. Namun, menurut penelitian, umbi Taka juga pernah ditemui hingga ketinggian 1.100 m alt. Tumbuhan ini tumbuh liar di tepi pantai, padang rumput, padang alang-alang, dan savana yang lokasinya terbuka dan terkena sinar matahari penuh. Umbi Taka jarang sekali ditemukan di lokasi yang sangat teduh atau di hutan primer. Di pantai, tumbuhan ini sering kali ditemukan berasosiasi dengan jenis-jenis cemara, Pandanus, Scaveola, Baringtonia, dan Eucalyptus. Karena hidupnya di dekat laut maka biasanya bijinya disebarkan melalui air laut. Selain melalui air laut, menurut penelitian, agen penyebaran umbi Taka juga dapat juga dilakukan oleh burung (Zosterops masii), karena burung ini memakan buah Taka.

d. Distribusi

Tumbuhan ini merupakan tumbuhan daerah tropis. Sebenarnya asal usul jenis ini tidak diketahui dengan pasti, namun kemungkinannya berasal dari Malesia alasannya karena di daerah ini ditemukan variasi jenis lain yang berada dalam marga yang sama. Distribusi atau penyebaran tumbuhan ini meliputi wilayah tropis Asia, Australia, Afrika, dan Osenasea. Tumbuhan ini tumbuh liar atau kadang-kadang dibudidayakan mulai dari bagian barat Afrika, India, lalu Asia Tenggara, sampai ke bagian timur kepulauan Pasifik. Di Indonesia, umbi Taka ditemui tumbuh liar di seluruh wilayah pesisir Indonesia, misalnya di daerah pesisir Garut Selatan dan di Kep. Karimunjawa.


III. Potensi

Pada dasarnya semua bagian tubuh Tacca leontopetaloides dapat dimanfaatkan. Banyak tulisan yang menyebutkan bahwa, tumbuhan ini telah dimanfaatkan secara tradisional sejak lama oleh penduduk lokal. Di Indonesia, khususnya di daerah Kampung Cigadog, Garut, Jawa Barat, umbi Taka telah dimanfaatkan sebagai pangan alternatif pengganti beras serta sebagai bahan dasar pembuatan kue. Biasanya umbi Taka dibuat tepung, kemudian tepungnya digunakan sebagai bahan baku kue basah maupun kue kering. Pembuatan kue dengan bahan dasar umbi ini biasanya dilakukan untuk acara-acara tertentu misalnya hajatan atau pada saat hari raya. Di luar negeri, selain dimanfaatkan sebagai panganan, Tacca leontopetaloides juga banyak dimanfaatkan sebagai obat, pestisida, dan barang-barang kebutuhan lainnya secara tradisional oleh penduduk. Berikut ini adalah potensi yang dimiliki oleh Tacca leontopetaloides yang telah dimanfaatkan secara tradisional maupun berdasarkan penelitian :

a. Umbi

Umbi Taka adalah bagian tubuh yang paling banyak dimanfaatkan. Bagian umbinya mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, sehingga sering dimanfaatkan sebagai panganan alternatif. Secara tradisional, umbinya sering dibuat menjadi tepung dan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kue. Di daerah Polinesia, umbi Taka merupakan sumber karbohidrat utama bagi masyarakat. Di Tahiti, tepung umbi Taka dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan panganan yang disebut ‘poi’, sedangkan di Hawai tepung umbi taka dibuat menjadi ‘haupia’ yang merupakan campuran tepung umbi, santan, dan gula tebu (Ukpabi et al., 2009). Walaupun dapat dimanfaatkan sebagai makanan, namun umbi Taka tidak dapat dimakan secara langsung, perlu dilakukan beberapa perlakuan sebelum mengkonsumsinya. Kulit umbinya mengandung racun dan rasanya pahit sehingga sebelum digunakan, biasanya umbi dicuci bersih, dikupas, kemudian dimasak atau dibuat tepung. Di Nigeria, air bekas cucian umbi biasanya dimanfaatkan sebagai deterjen (Borokini dan Ayodele, 2012).

Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa kandungan karbohidrat dalam umbi Taka dan tepung Taka memang tinggi sehingga banyak dimanfaatkan sebagai panganan pokok. Jika dibandingkan dengan tepung terigu, kandungan karbohidrat umbi Taka dan tepung Taka lebih tinggi. Walaupun memang, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu. Namun, kelebihan lain tepung Taka yaitu, tepung Taka diketahui mengandung vitamin C. Berikut ini adalah tabel perbandingan kandungan nutrisi umbi Taka, tepung Taka, dan tepung terigu per 100 gram.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Umbi Taka, Tepung Taka, dan tepung terigu per 100 gram


BKP Kab. Garut dan Prawiranegara (1989) dalam  Azizah (2009)

Kandungan pati atau karbohidrat yang tinggi memungkinkan umbi Taka dapat dimanfaatkan untuk pembuatan alkohol dengan cara fermentasi, sehingga umbi Taka juga berpeluang sebagai sumber bahan bakar alternatif. Di daerah Polinesia, kandungan kanji atau starch pada umbi Taka juga dimanfaatkan sebagai bahan pengeras untuk kain. Menurut penelitian yang dilakukan Attama dan Adikwu (1999), kandungan starch dalam umbi ini juga berpotensi menjadi bahan campuran dalam pembuatan lem (bioadhesive) karena memiliki daya rekat yang cukup kuat.

Selain dimanfaatkan sebagai makanan dan bahan lainnya, umbi Taka juga telah dimanfaatkan secara tradisional oleh penduduk lokal sebagai obat untuk menyembuhkan beberapa penyakit. Di Polinesia, sejak dulu, tepung Taka telah dimanfaatkan sebagai obat disentri. Begitu pula di Hawai, tepung taka juga dimanfaatkan sebagai obat penyakit perut seperti diare dan disentri. Campuran tepung taka dengan tanah liat merah yang dicampur air juga digunakan masyarakat untuk menghentikan luka (Ukpabi et al., 2009). Di negara bagian Plateu, Nigeria, bagian akar Tacca leontopetaloides atau umbinya juga dimanfaatkan untuk mengobati luka gigitan ular (Borokini dan Ayodele, 2012).

b. Daun, Tangkai Daun, Bunga, dan Buah

Bagian daun umbi taka di Indonesia, khususnya oleh masyarakat pesisir biasanya dikonsumsi sebagai sayuran. Di Ivory Coast, penduduk merebus daunnya dan meminum air rebusannya sebagai obat untuk mengobati penyakit elephantiasis atau kaki gajah dan oedema, yaitu penyakit penebalan jaringan kulit akibat adanya cairan (Borokini dan Ayodele, 2012). Daun dan tangkai daunnya mengandung serat yang cukup tinggi sehingga sering dimanfaatkan oleh penduduk sebagai bahan dasar anyaman topi atau senar pancing. Di Nigeria, seluruh bagian tubuh tumbuhan ini juga diketahui digunakan dalam upacara adat atau kegiatan sembahyang (Borokini dan Ayodele, 2012). Bunga Tacca leontopetaloides dapat digunakan sebagai obat untuk mengobati luka akibat gigitan ular dengan cara digosokkan pada bagian luka sedangkan buahnya dapat dimakan.

c. Metabolit Sekunder 

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, telah diketahui bahwa Tacca leontopetaloides sudah digunakan sejak lama oleh masyarakat sebagai obat tradisional, namun penelitian terkait dengan kandungan senyawa kimianya masih sangat terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bagian daun, batang, dan umbinya mengandung beberapa senyawa kimia yang dikenal sebagai senyawa metabolit sekunder. Senyawa tersebut diantaranya adalah flavonoid dan alkaloid. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ukpabi et al. (2009) diketahui bahwa bagian umbi Tacca leontopetaloides mengandung senyawa glikosida flavonoid yang bernama Taccalin. Jumlah ekstrak crude flavonoid yang terkandung dalam umbi Taka yang segar adalah 3,15 % sedangkan pada umbi yang telah disimpan beberapa waktu adalah 3,58 %. Fenolik taccalin (3,5,7,4-tetrahidroksi flavylum 3-silosdia) adalah senyawa yang membuat umbi taka berubah warna menjadi kecokelatan setelah didiamkan beberapa saat karena adanya proses oksidasi. Perubahan warna ini sama seperti yang terjadi pada kentang yang dikupas kulitnya. Senyawa ini pula yang dicurigai berperan dalam penyembuhan penyakit pencernaan (Kay (1987) dalam Ukpabi et al. (2009)). Senyawa ini menghambat pembentukan cairan berlebih di saluran pencernaan yang dapat mengakibatkan diare (Schuier et al. (2005) dalam Ukpabi et al. (2009)). Selain berperan dalam mencegah diare, flavonoid juga telah diketahui secara umum memiliki efek anti-oksidan. 

Selain flavonoid, Tacca leontopetaloides juga mengandung senyawa-senyawa alkaloid, tannin, dan saponin. Secara umum, alkaloid telah diketahui berperan sebagai therapeutic agents dalam pengobatan kanker. Begitu pula dengan tannin dan saponin. Tannin memiliki fungsi anti-mikroba, efek menenangkan, membantu regenerasi kulit, anti-inflamasi, dan fungsi diuertik. Tannin dapat berikatan dengan protein dan karbohidrat sehingga dapat membantu tubuh mencerna kedua makromolekul ini serta mencegah pertumbuhan bakteri. Berdasarkan fungsi-fungsi ini, tannin diketahui digunakan dalam pengobatan varises, haemorrhoid, dan penghentian luka dalam proses circumcision (khitanan) (Borokini dan Ayodele (2012)). 

Saponin adalah senyawa glikosida yang mengandung triterpen dan steroid. Saponin juga diketahui memiliki efek positif pada tubuh manusia. Senyawa ini, memiliki komponen hypotensive dan cardiac depressant, karena diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Selain itu, saponin juga dapat membantu menurunkan resiko kanker. Saponin dapat memperlambat bahkan menghentikan pertumbuhan sel kanker dengan cara bereaksi dengan kolesterol yang terdapat pada membran sel kanker. Senyawa ini juga berperan sebagai anti-oksidan yang mencegah kerusakan sel akibat radikal bebas (Ubwa et al. (2011)).

Bagian umbi, daun, dan batang Tacca leontopetaloides berdasarkan penelitian diketahui mengandung senyawa-senyawa ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Borokini dan Ayodele (2012), alkaloid, tanin, dan saponin ditemukan di bagian daun sedangkan di bagian umbi hanya ditemukan senyawa alkaloid. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan Ubwa et al. (2011) senyawa saponin ditemukan baik di bagian umbi, daun, maupun batang. Kandungan saponin yang terdapat pada umbi, daun, dan batang Tacca leontopetaloides secara berturut-turut adalah sebagai berikut 35.00, 31.50 and 34.50 mg kg-1.


IV. Budidaya

Di Indonesia, Tacca leontopetaloides belum dibudidayakan. Masyarakat memang sudah lama memanfaatkannya, namun karena ketersediaannya di alam masih berlimpah, belum ada yang berupaya membudidayakannya. Selain itu, masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai petani lebih memilih menanam komoditi yang dianggap bernilai ekonomi tinggi seperti kayu-kayuan, kelapa sawit, kopi, atau coklat. Namun kini, LIPI Pusat Penelitian Biologi sudah mulai melakukan penelitian dan berusaha melakukan domestikasi umbi Taka karena melihat potensinya yang tinggi sebagai sumber karbohidrat.

Sama halnya dengan di Indonesia, di luar negeri pun tumbuhan ini belum dibudidayakan secara massal karena kelimpahannya di alam yang cukup tinggi dan nilai ekonominya yang kalah bersaing dengan jenis tanaman lain. Hanya saja di beberapa daerah, terutama di daerah pesisir, penduduk menanamnya untuk kebutuhan sendiri atau subsisten. Salah satu contohnya adalah di Pulau Marshall  yang terletak di sebelah utara Papua Nugini (Spennemann, 1994).

Pada awalnya penduduk hanya menanam umbi Taka dalam satu lahan, namun akibat pengaruh perekonomian dari luar, maka penduduk mulai menanam umbi Taka bersama kelapa, dan menjadikan kelapa sebagai komoditi utama. Saat ini, belum ada prosedur standar penanaman umbi Taka. Belum diketahui pula karakteristik lahan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan umbi Taka. Oleh karena itu, prosedur budidaya yang disebutkan di dalam tulisan ini mengacu pada prosedur budidaya yang dilakukan secara tradisional oleh penduduk Pulau Marshall. Proses budidaya umbi Taka yang dilakukan oleh penduduk Pulau Marshall melalui beberapa tahapan, dimulai dari persiapan lahan, penanaman, pemanenan, dan pengolahan pasca-panen. Satu siklus penanaman berlangsung selama sekitar delapan bulan.

a. Persiapan Lahan

Pada tahap awal siklus penanaman, biasanya dilakukan pembersihan lahan. Karakteristik lahan yang dipilih disesuaikan dengan habitat asli umbi Taka. Lahan yang dipilih adalah lahan di dataran rendah (> 200 m dpl), karakteristik tanahnya adalah tanah remah, dengan cahaya matahari penuh. Tumbuhan ini tahan terhadap salinitas tinggi sehingga dapat ditanam di daerah pantai. 

Pembersihan lahan dilakukan dengan cara penyiangan kemudian pembakaran. Setelah lahan bersih dari tanaman-tanaman liar lain, kemudian disiapkan beberapa lubang penanaman. Ukuran lubang disesuaikan dengan ukuran bibit umbi. Lubang digali hingga kedalaman 50 mm. Seperti dijelaskan sebelumnya, reproduksi umbi Taka dapat melalui dua cara yaitu reproduksi seksual dengan menggunakan biji dan reproduksi secara vegetatif dengan umbi. Reproduksi vegetatif adalah cara perbanyakan yang paling mudah.

b. Penanaman

Setelah lahan siap, kemudian disiapkan bibit umbi Taka. Bibit umbi yang dipilih biasanya berdiameter 25 mm atau kurang. Dalam satu lubang penanaman diisi satu atau dua umbi. Setelah umbi dimasukkan ke dalam lubang, selanjutnya lubang ditimbun dengan tanah. Pada awal penanaman tidak ada penggunaan pupuk. Penanaman diatur dengan jarak 45 cm dan jarak antar baris sekitar 75-90 cm. 

Umbi Taka dapat tumbuh di segala musim. Belum diketahui kapan waktu penanaman yang paling cocok, namun berdasarkan prosedur budidaya yang dilakukan penduduk Pulau Marshall mereka mulai melakukan penanaman pada saat bulan purnama (Spennemann, 1994). Tidak ada perawatan khusus yang diperlukan selama penanaman, namun penyiangan perlu dilakukan untuk mengurangi kompetisi. Penggunaan pestisida juga tidak terlalu diperlukan karena belum diketahui hama yang mungkin mengganggu pertumbuhan umbi.

c. Pemanenan

Panen dapat dilakukan setelah delapan bulan dari waktu awal penanaman. Ciri tanaman yang sudah dapat dipanen adalah tanaman yang daunnya sudah layu dan mulai meranggas. Proses pemanenan sama seperti pemanenan tanaman umbi-umbian lainnya, yaitu dengan cara digali. Dari satu tanaman umbi Taka dapat menghasilkan 3 kg umbi (Anonim 2, 2012). Penduduk Pulau Marshall, biasanya tidak akan memanen seluruh umbi yang ada. Umbi dari tumbuhan jantan dan umbi yang berukuran kecil akan dibiarkan di dalam tanah, atau dikumpulkan untuk dijadikan sebagai bibit pada siklus penanaman berikutnya.

d. Pasca-panen

Setelah umbi dipanen, umbi hanya dibersihkan dari tanah yang menempel. Jika akan dimasak, umbi akan dikupas kulitnya kemudian dibersihkan. Namun biasanya penduduk lokal mengolah umbi Taka dengan cara dibuat menjadi tepung baru kemudian dimanfaatkan menjadi bubur, kue, atau panganan lainnya. Proses pembuatan tepung umbi Taka sama dengan pembuatan tepung-tepung lainnya yang berasal dari umbi (misalnya tepung tapioka atau tepung sagu). Pembuatan tepung dilakukan melalui beberapa tahapan. Berikut ini adalah skema pembuatan tepung umbi :


Gambar 3. Skema Pembuatan Tepung Umbi Taka

Berdasarkan skema di atas, umbi yang telah dipanen dikupas dan dibersihkan. Selanjutnya, umbi diparut hinggda diperoleh bubur umbi. Bubur umbi kemudian dibilas dengan air, direndam, dan didiamkan selama beberapa saat hingga umbi mengendap. Proses pembilasan dan perendaman dilakukan sebanyak tiga kali. Setelah umbi mengendap, kemudian air rendaman disaring dengan menggunakan kain. Air hasil perasan ditampung dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering akan diperoleh tepung umbi yang siap diolah.

Pengembangan produksi tepung umbi Taka ini di Indonesia telah mulai dilakukan di Kampung Cigadog, Desa Cikelet, Garut Selatan. Tepung umbi Taka biasanya dimanfaatkan untuk pembuatan kue. Selain kandungan karbohidrat, zat besi, dan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan tepung lainnya (tepung terigu, maizena, dan sagu) (Kunle et al., 2003), tepung umbi Taka juga memiliki tekstur lebih kenyal atau lengket jika dicampur air, rasanya lebih gurih dibandingkan dengan tepung sagu, serta jika diolah menjadi kue akan membuat kue lebih mengembang (Anonim 2, 2012).


V. Analisis Pasar dan Pemasaran

Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya, umbi Taka memiliki potensi untuk dibudidayakan dan memiliki potensi bisnis yang dapat dikembangkan. Walaupun saat ini masyarakat menganggap nilai ekonomi umbi Taka lebih rendah dibandingkan dengan komoditi umbi-umbian lainnya, namun jika umbi Taka diolah menjadi tepung maka akan ada pertambahan nilai. Berikut ini adalah analisis pasar dan pemasaran tepung umbi Taka.

a. Produk yang Dihasilkan

Jenis produk yang dihasilkan : tepung umbi Taka
Karakteristik produk : tepung untuk kue kering, kue basah, roti, dan mie
Keunggulan produk : tepung lebih kenyal dan lengket, rasa lebih gurih

b. Target dan Segmentasi Pasar

Karakteristik konsumen :
•  Pengusaha kue, roti, atau mie
•  Pengusaha catering makanan
•  Ibu-ibu rumah tangga

c. Analisa SWOT

Strength :
•  Tepung lebih kenyal dan lengket
•  Rasa tepung lebih gurih
•  Tepung mengandung vitamin C
•  Kandungan lemak lebih rendah dibandingkan tepung lainnya
•  Dapat digunakan untuk segala jenis kue, roti, dan mie
•  Harga dapat lebih murah dibandingkan dengan tepung lainnya

Weakness :
•  Kandungan protein lebih rendah
•  Teknologi pembuatan tepung sederhana/manual
•  Produktivitas bahan baku masih rendah

Opportunity :
•  Peluang usaha besar
•  Banyak industri kue, roti, dan mie skala rumahan yang membutuhkan bahan baku murah
•  Program pemerintah untuk diversifikasi pangan dan penurunan impor tepung terigu

Threats :
•  Kompetitor banyak (tepung terigu, maizena, tapioka, dan lain-lain)
•  Produk umbi Taka belum banyak diketahui masyarakat

d. Strategi Pemasaran

Pengembangan produk
•  Penambahan variasi ukuran kemasan tepung terigu
•  Pembuatan tepung kue instan berbahan dasar tepung umbi Taka

Kegiatan promosi
•  Iklan melalui internet, selebaran/brosur, media cetak lokal 
•  Produk sampel 
•  Ikut serta dalam pameran dagang/bazar/pasar malam
•  Presentasi penjualan melalui demo masak di lingkungan RT/RW, ibu-ibu PKK, atau kantor


VI. Kesimpulan

Tacca leontopetaloides atau umbi Taka dapat memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dan memiliki peluang usaha yang lebih luas jika umbinya diolah menjadi tepung umbi.








Daftar Pustaka

Anonim 1. 2012. Mentan : Konsumsi Beras Indonesia Terlalu Banyak [Online]. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/03/m1wj1n-mentan-konsumsi-beras-indonesia-terlalu-banyak. Diakses tanggal 20 Desember 2012.
Anonim 2. 2012. Jalawure, Pengganti Beras yang Rasanya Gurih [Online]. Diakses dari http://adampratamachemical.co.id/. Diakses tanggal 20 Desember 2012.
Attama, AA. dan Adikwu, MU. 1999. Bioadhesive delivery of hydrocholothiazide using tacca starch/SCMC and tacca starch/Carbopols 940 and 941 admixtures. Boll Chim Farm Jul-Aug; 138 (7):343-50.
Azizah T N. 2009. Kajian Pengaruh Substitusi Parsial Tepung Terigu dengan Tepung Daging Sapi dalam Pembuatan Kreker terhadap Kerenyahan dan Sifat Sensori Kreker Selama Penyimpanan [skripsi]. Departemen Tekhnologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Bank Indonesia. 2012. Pola Pembiayaan Usaha Kecil : Pengolahan Tepung Tapioka [Online]. Diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6CF6DF79-7A5E-4162-9BB1-CB709987FE3C/16058/PengolahanTepungTapioka.pdf. Diakses tanggal 20 Desember 2012.
Borokini, T.I. dan Ayodele, A.E. 2012. Phytochemical Screening of Tacca leontopetaloides (L.) Kuntze Collected from Four Geographical Locations in Nigeria. International Journal of Modern Botany 2(4): 97-102.
Kunle, O.O., Yakubu, E.I., Emeje, M.O., Shaba, S., dan Kunle, Y.2003. Extraction, Physicochemichal and Compaction Properties of Tacca Starch-a Potential Pharmaceutical Excipient. Starch Vol 55(7): 319-325.
Spennemann, D.H.R. 1994. Traditional Arrowroot Production and Utilization in The Marshall Islands. J. Ethnobiol. 14(2):211-234.
S.T. Ubwa, B.A. Anhwange and J.T. Chia, 2011. Chemical Analysis of Tacca leontopetaloides Peels. American Journal of Food Technology, 6: 932-938.
Ukpabi, U.J., Ukenye, E., dan Olojede, A.O. 2009. Raw Material Potentials of Nigerian Wild Polynesian Arrowroot (Tacca leontopetaloides) Tubers and Starch. Journal of Food Technology. Vol. 7 (4): 135-138.

Senin, 17 Desember 2012

UAS Hukum Lingkungan dan Bisnis

 Kegiatan Pasca Tambang : Penutupan Tambang


I. Pendahuluan
Setiap kegiatan pasti menimbulkan dampak, demikian pula dengan kegiatan pertambangan. Kegiatan pertambangan memiliki dampak positif dan negatif terhadap lingkungan dan masyarakat diberbagai tingkatan (lokal, nasional, dan global). Salah satu dampak positif kegiatan pertambangan yaitu peningkatan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat. Kegiatan pertambangan dapat meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan mendatangkan devisa bagi negara. Sedangkan dampak negatifnya, dapat berupa bahaya kesehatan bagi masyarakat di sekitar area pertambangan, kerusakan lingkungan, pencemaran, dan sebagainya.

Berbagai upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif tersebut telah menjadi perhatian berbagai kalangan. Di Indonesia sendiri sudah banyak peraturan dan kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kegiatan pertambangan. Dari mulai pemberian ijin produksi, produksi, sampai dengan penjualan. Oleh karena kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang beresiko tinggi, maka pemerintah melalui peraturan dan kebijakannya telah membatasi pemberian ijin kuasa produksi pertambangan. Diperlukan serangkaian studi kelayakan yang bersifat multidisiplin (lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya) seperti AMDAL dan kajian lainnya, sebelum pemerintah mengeluarkan ijin usaha produksi. Penyelidikan kelayakan kegiatan tersebut dilakukan meliputi seluruh tahapan kegiatan produksi pertambangan termasuk pembuatan rencana pasca kegiatan tambang atau penutupan tambang (mine closure).


II.        Penutupan Tambang
Kegiatan pertambangan terdiri dari berbagai tahap kegiatan yang terintegrasi. Tahapan kegiatan tersebut diantaranya adalah :
1. Tahap Penyelidikan Umum
2. Tahap Eksplorasi
3. Tahap Studi Kelayakan, termasuk AMDAL
4. Tahap Konstruksi, yaitu pembangunan prasarana dan sarana usaha pertambangan
5. Tahap operasi dan produksi, yang dulu dikenal dengan Tahap Eksploitasi
6. Tahap Penutupan Tambang (Mine Closure), termasuk reklamasi, rehabilitasi, dan revegetasi
(Djunaidi, 2008)

Penutupan tambang merupakan tahap akhir suatu kegiatan eksploitasi tambang. Tahapan ini penting dan perlu direncanakan dengan baik oleh pemegang kuasa pertambangan sebagai bentuk tanggung jawabnya atas dampak-dampak yang muncul setelah kegiatan pertambangan selesai. Penutupan area tambang yang buruk atau bahkan hanya ditelantarkan, akan menyebabkan masalah lingkungan yang sulit bagi masyarakat dan pemerintah, dan akhirnya akan merusak citra industri pertambangan itu sendiri.

Menurut Budhyono (2009), definisi penutupan tambang adalah suatu proses penghentian kegiatan pertambangan secara tetap atau menyeluruh dengan tujuan untuk meninggalkan lingkungan atau lahan bekas area tambang dalam keadaan yang stabil dan aman bagi kehidupan makhluk hidup. Penghentian kegiatan tambang dapat disebabkan beberapa faktor seperti :
  • telah habis cadangannya
  • cadangan bahan galian memiliki nilai jual ekonomis yang lebih rendah dibandingkan harga jual di negara lain
  • telah habis batas waktu perijinannya
  • alasan ekonomi, seperti kesulitan produksi dan ketidakmampuan mencapai tagret eksplorasi
  • adanya perubahan perundang-undangan yang menyebabkan tambang harus ditutup
  • adanya pelanggaran, misalnya tentang pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan standar baku mutu lingkungan
  • adanya tekanan sosial dari masyarakat atau lembaga non-pemerintah
Perencanaan dan penyusunan strategi yang menyeluruh, meliputi aspek tenik fisik, pengembangan masyarakat dan wilayah, serta pengelolaan aset dan lokasi perlu dilakukan. Oleh karena itu, perusahaan, melalui  peraturan dan undang-undang tentang pertambangan, diwajibkan untuk membuat dokumen rencana penutupan tambang (RPT) yang didalamnya berisikan :

  • Arahan kegiatan
  • Kebijakan penutupan
  • Pengelolaan aset perusahaan yang meliputi peralatan bangunan, karyawan, lahan, sarana, dan pra sarana pendukung
  • Rencana pengembalian wilayah
  • Gambaran kondisi pasca tambang
  • Analisis tentang dampak penutupan tambang terhadap lingkungan fisik dan ekonomi  masyarakat
(Djunaidi, 2008)

Selain sebagai bukti pertanggungjawaban, dokumen RPT juga berperan sebagai alat pengendali agar tujuan umum penutupan tambang dapat terpenuhi.

III.      Dasar Hukum tentang Penutupan Tambang
Berikut ini adalah peraturan dan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dan mengatur kegiatan penutupan tambang :
  • UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  • UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pasal 113 butir 1c dan 4; pasal 1 butir 6 dan 27; pasal 117; pasal 119; pasal 151
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang
  • Peraturan Menteri Kehutan Republik Indonesia Nomor : P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan
  • UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
  • UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • PP No. 27 thn 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
  • Peraturan Pemerintah No. 18 dan 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3
  • KepMen PE No 1211-K 1008/M-PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
  • Draft Kepres thn 2003 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, Bab IV Pasca Tambang, Pasal 26

IV.     Proses Penutupan Tambang
Proses penutupan tambang tidak hanya melibatkan perusahaan pertambangan sebagai pelaku utama yang memiliki kewajiban untuk melaksanakannya sesuai dengan aturan dan undang-undang yang berlaku. Kegiatan ini melibatkan beberapa stakeholders seperti pemerintah, masyarakat, dan akademisi. Ketiga stakeholders tersebut berperan dalam pengawas kegiatan penutupan tambang.

Perusahaan pertambangan sebagai pemilik kuasa pertambangan wajib menanggung seluruh biaya proses penutupan tambang sesuai dengan rencana biaya penutupan tambang yang telah dibuat. Biaya ini timbul dihitung dari sejak produksi sehingga masuk sebagai ongkos atau beban produksi. Untuk menjamin ketaatan perusahaan dalam menjalankan kegiatan penutupan tambang maka perusahaan diwajibkan, berdasarkan peraturan menteri, membayar jaminan biaya yang besarannya sesuai dengan rencana biaya penutupan tambang.

Terdapat beberapa kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan proses penutupan tambang, seperti sebagai berikut :

  • Pencapaian dan objektif program penutupan tambang dapat diukur.
  • Mengembalikan lahan terganggu akibat kegiatan tambang menjadi lahan berguna yang disepakati berdasarkan AMDAL dan kesepakatan bersama lainnya.
  • Kesepakatan bersama dalam pengembangan lahan bekas tambang sesuai sebelum berakhirnya tambang atau aktivitas produksi.
  • Kesepakatan penutupan tambang pada pembuatan Rencana Penutupan Tambang harus detil dan bersifat dinamik.
  • Ketentuan kesepakatan penutupan tambang harus bersifat spesifik
  • Proses reklamasi lahan yang lingkungan fisiknya terganggu sebagai konsekuensi aktivitas penambangan ke kondisi secara fisik aman, stabil untuk jangka waktu lama, kecuali ada gangguan alam. (Anonim 2, 2012)
Selain harus memenuhi kriteria umum yang disebutkan di atas, kegiatan ini juga harus menerapkan beberapa prinsip, diantaranya yaitu menyeluruh (comprehensive), berkelanjutan (sustainable), dan berwawasan lingkungan. Proses penutupan tambang merupakan kegiatan yang kompleks, karena tidak hanya melibatkan faktor lingkungan tetapi juga faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu rencana penutupan tambang harus dibuat secara menyeluruh (comprehensive) yaitu dengan memerhatikan seluruh aspek yang terkait kegiatan tambang seperti, aspek teknis, lingkungan, dan sosial serta melibatkan seluruh stakeholders.

Prinsip yang kedua adalah berkelanjutan (sustainable), yaitu bahwa manfaat dari kegiatan penutupan tambang dapat dirasakan secara terus menerus atau berkelanjutan terutama oleh masyarakat lokal, walaupun kegiatan pertambangan sudah tidak ada lagi. Misalnya, dengan mengembangkan potensi kegiatan ekonomi lain selama produksi sehingga masyarakat tidak terlalu bergantung perekonomiannya pada kegiatan tambang.

Prinsip yang terakhir yaitu berwawasan lingkungan. Yang dimaksud dengan berwawasan lingkungan sebenarnya bukan hanya sekedar kegiatan tersebut lolos kajian AMDAL tetapi dalam pelaksanaan kegiatannya juga memperhatikan aspek pengelolaan sumber daya hayati (Anonim 1, 2007). Perusahaan sering kali menerjemahkan kegiatan penutupan tambang hanya sebagai kegiatan reklamasi atau revegetasi lahan bekas tambang saja, padahal kerusakan yang perlu diperbaiki adalah kerusakan ekosistem yang didalamnya terdapat interaksi antara faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi seluruh makhluk hidup yang terdapat dan terkait dengan area tersebut, sedangkan faktor abiotik meliputi seluruh faktor fisik yang menyokong kehidupan seluruh spesies yang terdapat dan terkait dengan area tersebut.

Tujuan penutupan tambang yang paling mendasar adalah mengembalikan kondisi lahan ke kondisi semula, aman, dan stabil bagi kehidupan spesies yang ada di sana. Oleh karena itu, sebagai dasar pembuatan RPT, perusahaan pertambangan hendaknya juga melakukan studi pendahuluan tentang komponen ekosistem yang ada sehingga strategi penutupan tambang yang dibuat dapat diaplikasikan serta sesuai dengan karakteristik ekosistem yang ada. Studi pendahuluan tersebut dapat berupa, mengidentifikasi nilai keanekaragaman hayati yang berada di daerah tersebut (misalnya, mengidentifikasi spesies-spesies endemik atau terancam punah), menilai resiko yang muncul terhadap keanekaragaman hayati tersebut, serta mengukur kondisi fisika dan kimia di lahan tersebut.

Dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang telah dijelaskan sebelumnya, diharapkan rencana kegiatan penutupan tambang sesuai dengan karakteristik area sesungguhnya dan berhasil diaplikasikan. Saat ini, indikator mengenai keberhasilan kegiatan penutupan tambang masih sangat terbatas, namun secara umum keberhasilan kegiatan penutupan tambang dapat dilihat dari beberapa kriteria berikut :

  • Rencana Penutupan Tambang (RPT) harus bersifat fleksible mengikuti kondisi sosio politik yang dinamis.
  • Mampu menumbuhkan pendapatan daerah dan ekonomi rakyat.
  • Mampu mengembangkan keahlian mantan karyawan untuk mendukung keberlangsungan ekonomi daerah.

V.       Masalah dan Tantangan dalam Kegiatan Penutupan Tambang
Walaupun peraturan dan kebijakan serta perencanaan mengenai kegiatan penutupan tambang ini sudah dipersiapkan secara matang, namun tetap saja kenyataannya di lapangan seringkali bermunculan berbagai masalah yang tidak dapat diduga sebelumnya. Berikut ini beberapa paparan masalah yang mungkin muncul dalam kegiatan penutupan tambang :

  • Problematika sosial, terkait dengan ketergantungan ekonomi masyrakat terhadap kegiatan pertambangan
  • Kontrak karya pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi yang sering kali diterjemahkan oleh pelaku industri sebagai penghijauan atau penanaman pohon semata
  • Saat ini peraturan yang mewajibkan perusahaan melakukan proses penutupan tambang yang benar dan bertanggung jawab tidak dapat menimbulkan konsekuensi hukum jika terjadi pelanggaran
  • Belum ada peraturan yang jelas mengenai sampai kapan perusahaan bertanggung jawab dalam pengelolaan maupun pemantauan lingkungan setelah tambang ditutup serta kapan tanggung jawab tersebut beralih ke pemerintah
  • Belum ada mekanisme kontrol atau pengawasan yang terpadu terhadap kegiatan penutupan tambang
  • Pemerintah kurang tegas dalam menerapkan sanksi kepada perusahaan yang melanggar kewajiban melakukan reklamasi

VI.     Kesimpulan
Uraian atau penjelasan mengenai kegiatan pasca tambang, khususnya kegiatan penutupan tambang, dapat disimpulkan melalui skema berikut :







Daftar Pustaka
Anonim 1. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati [Online]. Diakses dari http://www.dcita.gov.au/cca. Tanggal akses 14 Desember 2012.
Anonim 2. 2012. Penutupan Tambang [Online]. Diakses dari http://kodokngesot.blogspot.com. Tanggal akses 14 Desember 2012.
Budhoyono, H.T. 2009. Disain Sistem Penutupan Tambang Mineral Berkelanjutan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Djunaidi, M. 2009. Problematika Sosial dalam Penutupan Tambang. Jurnal Teknik Dintek. Vol. 1 No. 02 hal 62-71. 

Minggu, 02 Desember 2012

UAS : Authorship dalam Publikasi Laporan Penelitian Tugas Akhir


Authorship dalam Publikasi Laporan Penelitian Tugas Akhir

I. Latar Belakang

Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan khususnya sains telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam perkembangannya, ilmu sains kini tidak hanya berdiri sendiri, banyak penelitian yang kini mulai mengaitkan sains dengan ilmu-ilmu lainnya. Penelitian multidisiplin ini menandai bahwa dunia penelitian semakin kompleks. Kompleksitas dunia penelitian juga ditunjukkan dengan keterlibatan banyak pihak dalam suatu penelitian. Suatu proyek penelitian mungkin melibatkan banyak peneliti, ahli, dan pihak-pihak lain. Keterlibatan banyak pihak ini tentunya akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan pengakuan publik atas penelitian tersebut, jika laporan penelitiannya diterbitkan. Pengakuan publik ini disebut juga dengan authorship.

Menurut American Psychological Association Publication Manual (2001), authorship diberikan kepada seseorang yang bertanggung jawab terhadap isi intelektual yang terkandung dalam suatu publikasi. Orang yang bertanggung jawab terhadap isi intelektual adalah orang-orang yang memberi kontribusi substansial dan memegang tanggung jawab penuh terhadap kerangka penelitian, data, dan interpretasi hasil penelitian. Orang yang berhak menerima authorship bukan hanya orang yang menulis publikasi saja tetapi semua orang yang memberikan kontribusi ilmiah yang substansial terhadap penelitian tersebut. Pada bagian inilah kesulitan muncul. Bagaimana mengurutkan nama orang-orang yang terkait dalam penelitian, karena urutan penulisan nama dalam suatu publikasi ilmiah menunjukkan besaran kontribusi yang diberikan.

Penentuan authorship terutama dalam menentukan siapa yang menjadi first author di dalam dunia profesional sangat penting. Kedudukan first author menunjukkan kompetensi atau keahlian seseorang dalam suatu bidang. Di dalam dunia akademisi promosi jabatan, masa jabatan, dan gaji salah satunya ditentukan oleh banyaknya publikasi yang dihasilkan dengan kedudukan sebagai first author (Wilcox, 1998). Bahkan di lingkungan universitas, produktivitas atau kinerja seorang dosen juga dinilai dari jumlah publikasi yang dimilikinya.

Di lingkungan perguruan tinggi penentuan authorship suatu publikasi karya ilmiah seringkali menjadi dilema yang bersinggungan dengan etika. Terutama dalam penetuan siapa yang menjadi first author dalam publikasi ilmiah yang diangkat dari skripsi, tesis, atau disertasi mahasiswa. Dalam pembuatan skripsi, tesis, atau disertasi, fakultas biasanya menunjuk seorang atau lebih dosen yang berperan sebagai dosen pembimbing untuk membantu mahasiswa. Saat ini, peraturan atau pedoman yang mengatur tentang authorship publikasi penelitian ini masih sedikit dan belum dapat mengakomodasi permasalahan yang ada. Dalam tulisan ini selanjutnya akan dibahas mengenai siapa yang berhak menjadi first author dalam publikasi skripsi, tesis, atau disertasi mahasiswa di dalam beberapa kasus hubungan antara dosen pembimbing dan mahasiswa dalam konteks pendidikan tinggi. 

II. Tinjauan Pustaka

2.1 Pendidikan 

Pendidikan merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau dengan kata lain produk akhir dari suatu pendidikan adalah seorang lulusan yang mampu melaksanakan peranan-peranannya di masa yang akan datang. Hal ini dikemukakan pula di dalam pasal 3 BAB II UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sekolah merupakan sarana atau wadah formal yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan. Pelaksanaan pendidikan dilakukan dalam bentuk kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan. Bimbingan adalah pemberian bantuan, arahan, motivasi, nasihat, dan penyuluhan agar peserta didik dapat mengatasi, memecahkan masalah, dan menanggulangi kesulitannya sendiri. Pengajaran adalah bentuk kegiatan belajar-mengajar yang di dalamnya terjalin hubungan interaksi antara pengajar dan peserta didik untuk mengembangkan perilaku sesuai dengan tujuan pendidikan, sedangkan pelatihan adalah proses pengajaran untuk mengembangkan keterampilan tertentu (Hamalik, 2001). 

Dalam jenjang pendidikan formal, pendidikan tinggi merupakan tahapan akhir pendidikan. Menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah jenjang pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi menurut Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1990 adalah suatu organisasi pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di jenjang pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Fungsi utama perguruan tinggi tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

2.2 Laporan Penelitian Tugas Akhir

Penelitian tugas akhir merupakan salah satu persyaratan pelaksanaan pendidikan tinggi. Biasanya penelitian tugas akhir adalah suatu proyek akhir yang wajib dilakukan oleh mahasiswa setelah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Penelitian tugas akhir dan penulisan laporannya (skripsi, tesis, atau disertasi) dapat menjadi salah satu persyaratan kelulusan. Pada pelaksanaannya, dalam melaksanakan penelitian tugas akhir tersebut, mahasiswa akan dibimbing oleh seorang atau lebih dosen yang memiliki kemampuan atau kapasitas yang memadai di bidang penelitian yang diinginkan mahasiswa tersebut. Dosen yang akan membimbing mahasiswa, selanjutnya disebut dengan dosen pembimbing, ditunjuk oleh fakultas. Biasanya penunjukkan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian minat topik penelitian mahasiswa dengan kemampuan atau keahlian dosen. Pembimbingan oleh dosen pembimbing merupakan hak yang harus diterima mahasiswa.
Dosen menurut UU RI tentang Guru dan Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dosen menurut UU RI tentang Guru dan Dosen memiliki kewajiban sebagai berikut :
- Melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
-Merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran
-Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
-Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, ras, suku, agama, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosio-ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
-Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika
-Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa

Dosen pembimbing yang ditunjuk fakultas memiliki tugas dan kewajiban yang lebih spesifik. Tugas dosen pembimbing adalah mengarahkan mahasiswa dalam mempersiapkan proposal, melaksanakan penelitian, menulis skripsi/tesis/disertasi, dan membantu mempersiapkan mahasiswa untuk melakukan seminar hasil penelitian, sidang penelitian, dan sidang akhir. Secara rinci tugas dosen pembimbing adalah sebagai berikut:
-Membantu mahasiswa dalam memilih topik dan membuat proposal. Pemilihan topik hendaknya disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, sumber daya, dan jangka waktu penelitian yang tersedia.
-Membantu mahasiswa dalam merumuskan masalah, melihat alternatif pemecahan masalah, dan memilih metodologi jangkauan pemecahan masalah yang sesuai
-Membantu mahasiswa dalam melakukan analisis atau sintesis ketika memecahkan masalah penelitian serat memberikan arahan dalam penulisan skripsi/tesis/disertasi sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang lazim
-Memberi arahan kepada mahasiswa dalam mencari bahan pustaka dan atau pengumpulan data sekunder
-Membantu mahasiswa dalam kelancaran pelaksanaan penelitian atau penulisan skripsi/tesis/disertasi
(Diambil dari Surat Keputusan Dekan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung tentang Penugasan Dosen Pembimbing)

2.3 Kode Etik Riset

Perguruan tinggi sebagai salah satu wadah organisasi yang berperan dalam pembangunan khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat mendukung kegiatan penelitian atau riset yang dilakukan oleh mahasiswanya. Melalui penelitian tugas akhir dan penulisan laporannya, diharapkan lulusan-lulusan perguruan tinggi dapat memiliki sikap ilmiah dalam mencari solusi suatu permasalahan di masa yang akan datang. Namun, disamping menumbuhkan sikap ilmiah dalam melaksanakan kegiatan riset atau penelitian, perlu juga dijunjung kebiasaan baik atau etika yang bersifat universal dan sejalan dengan nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan riset. 

Setiap perguruan tinggi seharusnya sudah memiliki kode etik riset masing-masing yang mengatur bagaimana pelaksanaan riset. Salah satu contoh kode etik riset perguruan tinggi yaitu kode etik riset yang dimiliki oleh Institut Teknologi Bandung. Secara umum, kode etik riset ITB mencakup tentang pemeliharaan integritas riset dan pelanggaran kode etik riset. Dalam pemeliharaan integritas riset, selain dituntut untuk melakukan sikap-sikap yang baik (kejujuran, tulus, bertanggung jawab) dan menghindari kecurangan, disebutkan pula bahwa seluruh mahasiswa dan dosen ITB harus menjaga kualitas serta akuntabilitas riset demi menjaga nama baik institusi. Kode etik ini diharapkan menjadi panduan atau pedoman seluruh civitas akademika ITB, baik mahasiswa maupun dosen pembimbing tentang hak dan kewajibannya yang berkaitan dengan menjalankan riset.

2.4 Prinsip Etika dalam Penentuan Authorship

Menurut Fine dan Kurdek (1993), terdapat tiga prinsip etika yang berhubungan dengan permasalahan dilema dalam penentuan authorship publikasi penelitian yang diangkat dari hasil hubungan kerjasama mahasiswa dan dosen pembimbing. Ketiga prinsip tersebut adalah, beneficence, justice, dan parentalism. Berikut ini adalah penjelasannya :
1. Beneficence, adalah prinsip etika untuk tidak melakukan atau menyebabkan orang lain terluka dan menolong orang lain. Dalam konteks authorship, beneficence berati bahwa dosen pembimbing harus membantu mahasiswa dalam karir akademik kedepannya dengan cara menyertakan nama mahasiswa tersebut dalam suatu publikasi ilmiah jika mahasiswa tersebut memberikan kontribusi yang layak.
2. Justice, yaitu memperlakukan orang lain secara adil dan memberikan apapun kepada orang tersebut dengan sesuai. Dalam kasus authorship, jika mahasiswa tidak dapat dibedakan secara profesional fungsinya dalam suatu proyek penelitian maka ia berhak menerima authorship setara dengan kolega lain yang terlibat dalam penelitian tersebut. Namun, jika mahasiswa dianggap memiliki kekuatan dan kompetensi yang lebih rendah dibandingkan dengan nonstudent-collaborator atau kolega lain yang terlibat dalam penelitian tersebut maka mahasiswa tersebut dikatakan diperlakukan secara adil jika mahasiswa mendapatkan perlakuan sesuai dengan apa yang dilakukannya.
3. Parentalism, yaitu memperlakukan seseorang dengan mengintervensi suatu keputusan tanpa memperhatikan keinginan orang tersebut. Dalam kasus authorship, sikap parentalistik harus disesuaikan dengan level autonomi dari seorang mahasiswa.

III. Pembahasan

Walaupun dalam peraturan dan kode etik riset telah disebutkan dan dijelaskan tentang hak dan kewajiban mahasiswa dan dosen pembimbing terkait dengan pelaksanaan penelitian, namun pada prakteknya banyak kasus hubungan antara mahasiswa dan dosen pembimbing yang memungkinkan timbulnya permasalahan authorship seperti yang dikemukakan di bagian latar belakang. Sering kali peraturan tersebut terlalu bersifat umum, tidak rinci, atau tata bahasanya rancu dan menyebabkan multitafsir. Banyak pula kasus permasalahan authorship yang sulit dicari penyelesaiannya karena memang belum ada peraturan atau kode etiknya. Jika ditinjau dari bentuk hubungan kerja sama dosen pembimbing dan mahasiswa, maka terdapat beberapa kasus hubungan, seperti berikut ini :
a. Mahasiswa sudah memiliki ide serta kerangka penelitian yang jelas, kemudian mahasiswa melakukan koleksi data, interpretasi data, dan menulis laporan. Dosen pembimbing hanya membantu memberikan arahan dan kelancaran selama proses penelitian.
b. Mahasiswa sudah memiliki ide serta kerangka penelitian yang jelas, namun memiliki kesulitan dalam biaya penelitian. Dosen pembimbing membantu mencarikan dana penelitian. Selanjutnya dalam koleksi data, interpretasi data, dan penulisan laporan, dosen pembimbing hanya memberikan arahan saja.
c. Mahasiswa datang dengan hanya mengutarakan topik besar penelitian, kemudian melakukan diskusi dan brainstorming dengan dosen. Lahirlah ide dan konsep penelitian.
d. Mahasiswa datang dengan hanya mengutarakan topik besar penelitian, kemudian dosen menentukan dan membuatkan masalah serta kerangka penelitian. Selanjutnya dosen memberikan metode penelitian dan melakukan analisis data serta membuat kerangka berpikir dalam penulisan laporan akhir.
e. Mahasiswa ditawari untuk ikut dalam proyek penelitian dosen. Semua biaya penelitian ditanggung. 

Pada kasus yang pertama dan kedua, mahasiswa diketahui sebagai pemilik ide. Maka, jika hasil penelitiannya akan dipublikasikan, mahasiswa tersebut berhak menjadi first author. Dosen pembimbing dalam kasus yang pertama bertindak sesuai dengan kapasitasnya sebagai pembimbing yang hanya membantu kelancaran dan memberikan arahan kepada mahasiswa. Oleh karena itu, mahasiswa tersebut dapat memasukkan dosen pembimbing sebagai second author atau disebutkan dalam acknowledgement. 

Dalam kasus yang kedua, dosen pembimbing ternyata berperan bukan hanya sebagai pemberi arahan dan bantuan tetapi juga memberikan dana penelitian. Namun dalam penentuan authorship, secara etika, orang yang berhak menerima authorship menurut Russell dan Bourbonniere (2004) adalah sebagai berikut :
-Memberikan kontribusi yang substansial seperti konsep dan desain penelitian, metode penelitian, serta analisis dan interpretasi data
-Memberikan kontribusi intelektual dalam membuat konsep penulisan serta melakukan revisi terhadap konten intelektual
-Menerima dan bertanggung jawab terhadap isi publikasi

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa dana bukan merupakan unsur yang esensial dalam penentuan authorship. Universitas Indonesia merupakan salah satu perguruan tinggi yang telah mengatur mengenai permasalahan ini. Dikatakan dalam Ketetapan Majelis Wali Amanat Nomor : 007/tap/mwa-ui/2005, bahwa partisipasi penelitian hanya dalam pengadaan dana dan atau pengumpulan data, atau supervisi yang bersifat umum, tidak dapat menjadi alasan bagi seseorang untuk disebutkan atau ikut disebutkan namanya sebagai pengarang dalam sebuah publikasi. Oleh karena itu, pada kasus yang kedua, juga jelas bahwa mahasiswa berhak menjadi first author. Jika mahasiswa pada kasus yang pertama dan kedua tidak berminat melakukan publikasi terhadap hasil penelitiannya sedangkan dosen pembimbingnya menilai bahwa hasil penelitian tersebut layak untuk dipublikasikan dan berminat untuk mempublikasikannya, maka menurut kode etik riset harus melalui sepengatahuan mahasiswa dan mencantumkan nama mahasiswa sebagai penulis/inventor atau mengucapkan terimakasih. Begitu pula jika mahasiswa tersebut ternyata ingin melakukan publikasi hasil riset atau mengajukan hak paten maka harus melalui sepengetahuan dosen pembimbing (Surat Keputusan Rektor ITB Nomor : 024/SK/K01/PL/2011 tentang Panduan Kode Etik untuk Integritas Riset ITB).

Pada kasus yang ketiga, kasus ini yang paling sering terjadi, dimana mahasiswa baru hanya memiliki topik besar penelitian yang diminatinya. Mahasiswa belum dapat merumuskan ide atau masalah yang akan diangkat, belum memiliki konsep serta kerangka penelitian yang jelas. Kemudian mahasiswa berdiskusi dan melakukan brainstorming dengan dosen pembimbing, sampai akhirnya dapat dirumuskan konsep penelitian, metode penelitian, serta kerangka penulisan laporan akhir. Pada kasus ini sebenarnya sulit ditentukan batasan kontribusi intelektual dosen pembimbing, karena ide awal penelitian mungkin lahir dari hasil diskusi. Maka pada dasarnya kepemilikan ide adalah milik dosen dan mahasiswa. Dalam hal ini, sebaiknya penentuan authorship atau penentuan first author dalam penulisan publikasi dilakukan melalui diskusi terbuka antara dosen dan mahasiswa. Dosen pembimbing seharusnya menyampaikan informasi yang tidak memprovokasi mengenai authorship. Namun, seringkali pada akhirnya dalam kasus ini mahasiswa akan menjadi second author, karena banyak anggapan dan pendapat yang menyebutkan bahwa urutan nama penulis dalam publikasi menunjukkan kompetensi intelektual atau keahlian yang dimiliki oleh penulis atau kadang kala juga menunjukkan senioritas.

Di kasus yang keempat, disebutkan bahwa mahasiswa datang kepada dosen pembimbing dengan hanya mengajukan topik besar penelitian yang diminati namun belum memiliki konsep serta kerangka penelitian yang jelas. Kemudian dosen pembimbing menawarkan ide penelitian yang lain untuk dikerjakan mahasiswanya. Dosen pembimbing membuatkan kerangka penelitiannya dan memberikan metode penelitian. Selanjutnya, dosen pembimbing menginterpretasikan data dan membuatkan kerangka alur berpikir dalam penulisan laporannya. Mahasiswa hanya melakukan koleksi data dan menulis laporan. Dalam kasus ini yang berhak menerima authorship jika hasil penelitian dipublikasikan adalah dosen pembimbing. Namun, dalam konteks pendidikan dosen pembimbing dalam kasus ini sudah menyalahi tugas dan fungsinya sebagai dosen pembimbing (telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya tentang tugas dan fungsi dosen pembimbing). Secara etika, dosen juga telah melakukan pelanggaran, dengan melakukan intervensi, dosen berarti telah bersikap parentalistik. Dimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sikap parentalistik sebaiknya diterapkan pada peserta didik yang belum memiliki autonomi. Menurut kode etik riset yang dikeluarkan ITB, pembimbing atau promotor yang meminta mahasiswa untuk melakukan riset yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan pembimbing dan promotor dan tidak berkaitan dengan ruang lingkup tugas akhir, tesis, atau disertasi mahasiswa, kecuali atas dasar kesepakatan lain yang dilakukan kedua belah pihak tanpa paksaan dari pihak manapun merupakan pelanggaran kode etik (Surat Keputusan Rektor ITB Nomor : 024/SK/K01/PL/2011 tentang Panduan Kode Etik untuk Integritas Riset ITB). 

Pada kasus kelima, mahasiswa diposisikan sebagai tenaga kerja profesional atau sebagai research assistant yang mengerjakan proyek penelitian dosen. Mahasiswa menerima gaji yang ditentukan. Tugasnya hanyalah menjalankan penelitian sesuai dengan porsi yang diberikan, dimana semua desain, metode, dan cara menganalisis data sudah diberikan oleh dosen pembimbing sebagai peneliti utama. Maka dalam kasus ini, dosen pembimbing seharusnya sudah memberikan informasi mengenai seluruh proyek penelitian termasuk tentang publikasi dan authorship. Mahasiswa mungkin hanya menjadi second author atau ditulis dalam ucapan terimakasih.  Dalam hal ini dosen pembimbing sebagai pemilik proyek berhak atas data penelitian.

IV. Kesimpulan dan Saran

Sebenarnya beberapa kasus permasalahan authorship yang diungkapkan di atas mungkin hanyalah sebagian kasus yang dapat terjadi dalam pelaksanaan pendidikan di lingkungan perguruan tinggi. Banyaknya kasus yang timbul tentang authorship dapat meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban mahasiswa dan dosen yang telah dituangkan dalam peraturan dan undang-undang. Banyak cara untuk mencegah atau mengatasi timbulnya permasalahan tersebut misalnya penyebarluasan informasi tentang peraturan dan kode etik riset kepada mahasiswa dan dosen serta merevisi atau membuat peraturan yang jelas mengenai riset, penelitian tugas akhir, dan publikasi. Terutama peraturan yang menyangkut tentang hak kepemilikan data hasil penelitian.





Daftar Pustaka
American Psychological Association's (APA's) Ethics Committee. 2002. Ethical principles of psychologists and code of conduct [Online]. Diakses dari :  http://www.apa.org/ethics/code2002.html. Diunduh tanggal 29 November 2012. 
Fine, M.A. dan Kurdek, L.A. 1993. Reflections on Determining Authorship Credit and Authorship Order on Faculty-Student Collaborator. The American Psychological Association, Inc. 0O03-O66X/93/S2 00. Vol. 48, No. 11. 1141-1147
Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Russell, D. dan Bourbonniere, M. 2004. Guidelines on Authorship of Abstracts, Presentations, and Papers [Online]. Diakses dari : http://www.canchild.ca/en/canchildresources/resources/authorshipguidelines.pdf. Diunduh tanggal 29 November 2012.
Wilcox, L.J. 1998. Authorship: the coin of the realm, the source of complaints. Journal of the American Medical Association, 280(3), 216-217.