Minggu, 18 November 2012

Kritik Terhadap HaKI

Kritik Terhadap HaKI (Hak Kekayaan Intelektual)

Hak kekayaan intelektual atau IPR (Intellectual Property Rights) adalah hak yang muncul karena kemampuan intelektual manusia. Obyek yang termasuk ke dalam kekayaan intelektual yaitu berupa hasil pemikiran atau sesuatu yang timbul karena kemampuan atau aktivitas intelektual manusia.  Hak kekayaan intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan pemerintah berdasarkan undang-undang untuk menikmati secara ekonomis hasil dari kreativitas intelektual tersebut dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya kecuali atas izin pemilik. Hak eksklusif tersebut meliputi hak untuk :
· Membuat salinan dari hasil karya dan menjual hasil salinan tersebut
· Mengimpor atau mengekspor hasil karya
· Menciptakan karya turunan dari hasil karya ciptaannya
· Menampilkan hasil karya di depan umum
· Menjual atau mengalihkan kepemilikan hak eksklusif tersebut kepada pihak lain

Secara umum Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi ke dalam dua bagian yaitu Hak Cipta (copyrights) dan Hak Kekayaan Industri (industrial property rights). Hak Kekayaan Industri mencakup paten, desain industri, merek, penanggulangan praktek persaingan curang, desain tata letak sirkuit terpadu, dan rahasia dagang. Di Indonesia badan yang berwenang dalam mengurusi HaKI adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

Sistem perlindungan terhadap kekayaan intelektual di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Pada awal masa kemerdekaan Indonesia menggunakan UU Hak Cipta dan UU tentang merek peninggalan dari pemerintahan Belanda. Selanjutnya pada tahun 1979 Indonesia meratifikasi konvensi Paris tentang HaKI (Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization) melalui Keppres No. 24 tahun 1979 yang kemudian diubah menjadi Keppres No. 15 tahun 1997. Dengan meratifikasi konvensi Paris berarti Indonesia masuk ke dalam keanggotaan WIPO (World Intellectual Property Organization), suatu organisasi yang dibentuk PBB untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Selain konvensi Paris, Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi lain di bidang HaKI ini seperti :
a. Patent Coorperation Treaty (PCT) and Regulation under the PTC, dengan Keppres NO. 16 Tahun 1997;
b. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
c. Bern Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works dengan Keppres No. 18 tahun  1997;
d. WIPO copyrights treadty (WCT) dengan Keppres No. 19 tahun 1997;
(Departemen Perindustrian, 2007)

Pada tahun 1994, Indonesia bergabung ke dalam organisasi perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Astablishing the World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian terpenting darti persetujuan  WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counter\feit Goods (TRIPs).
Dalam perkembangannya, kesepakatan atau peraturan mengenai HaKI ini ternyata menuai pro dan kontra. Banyak krtik dan tuduhan yang diberikan kepada HaKI, bahwa peraturan atau kesepakatan-kesepakatan tentang HaKI banyak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Secara umum terdapat dua pandangan kritik tentang HaKI di masyarakat, pertama adalah bahwa konsep HaKI yang ada sudah tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Banyak permasalahan timbul dan penyelesaiannya sulit ditemukan karena HaKI belum bisa mengakomodasi permasalahan tersebut. Kedua, konsep HaKI memang dari awal tidak pernah menguntungkan masyarakat umum tetapi selalu memperkaya pihak-pihak tertentu dengan mengorbankan kreativitas. Berikut ini kritik-kritik yang berkembang di masyarakat tentang konsep HaKI :

1. Konsep HaKI dibuat untuk kepentingan kaum kapitalis
Perlindungan mengenai hak cipta pada awalnya adalah ide dari negara-negara kapitalis atau negara-negara post modernisme. Dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya mengenai sejarah penyusunan UU HaKI di Indonesia selalu mengacu pada kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dari konvensi-konvensi yang diprakarsai oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang kita ketahui bersama adalah negara-negara kapitalis. Banyak kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang disisipkan dalam kesepakatan yang dibuat (akan dijelaskan pada contoh-contoh kasus selanjutnya), dan negara-negara anggota yang meratifikasi kesepakatan tersebut mau tidak mau harus mengikuti semua ketentuan yang dibuat. Orang-orang kapitalis menganggap bahwa pengetahuan-pengetahuan individu sebagai harta yang boleh dimiliki, dan bagi orang yang mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut tidak diperbolehkan memanfaatkannya kecuali atas izin pemegang paten dan ahli warisnya sesuai dengan standar-standar tertentu.

2. Konsep UU Hak Cipta Inggris menurut sejarahnya berpihak pada industri.

3. Pada tahun 2004, World Intellectual Property Organization (WIPO) mendapatkan kritik dalam The Geneva Declaration on the Future of the World Intellectual Property Organization
Kritik tersebut mengatakan bahwa WIPO seharusnya menempatkan kekayaan intelektual sebagai salah satu alat pembangunan di negara-negara berkembang, bukan justru peraturan tentang HaKI mematikan atau menghambat pembangunan itu sendiri (Anonim, 2012).

4. Eben Moglen seorang profesor bidang hukum di Columbia University menyatakan bahwa konsep HaKI merupakan suatu bentuk proteksionisme intelektual ataupun monopoli intelektual yang mengancam kepentingan publik melalui suatu legislasi yang proteksionis (Moglen, 2003).

5. Penyusunan UU Hak Cipta diprakarsai WTO (World Trade Organization)
Dalam sejarah penyusunannya, kesepakatan mengenai hak cipta diprakarsai oleh WTO (World Trade Organization) untuk melindungi kepentingan negara-negara maju dalam rangka menghadapi perdagangan bebas dan globalisasi.

6. Sejumlah aktivis HAM menuduh UU Hak Cipta hanya sekedar alat rekayasa negara-negara post modernism untuk memperluas hegemoni kekuasaan ekonominya di negara-negara berkembang.
Pernyataan ini terbukti dengan adanya kasus obat anti AIDS yang dipatenkan di negara maju, padahal penderita AIDS banyak dijumpai di negara-negara berkembang (misal Afrika) sehingga harga obat anti AIDS tersebut sangat mahal (Fergusson, 2003).

7. UU tentang kekayaan intelektual adalah alat  penjajahan masa kini.
Pada contoh kasus bioprospek jelas terlihat terjadi bioimperialisme melalui paten. Telah diketahui bahwa sebanyak tiga per empat senyawa yang digunakan dalan industri farmasi di dunia berasal dari tumbuhan yang digunakan oleh penduduk tradisional. Hanya sekitar 2% senyawa dari tumbuhan yang ditemukan sendiri oleh peneliti (Yee, 2012). Walaupun kini berkembang metode pembagian keuntungan atau pemberian insentif pada penduduk lokal sebagai penghargaan atas pengetahuan tradisionalnya untuk mencari potensi senyawa obat, namun tetap saja paten atas formula obat tersebut dimiliki oleh negara maju, yang artinya jika negara berkembang membutuhkan obat tersebut maka harus mengeluarkan biaya yang mahal.
Misalnya, kasus Neem Tree yang di India telah lama digunakan sebagai obat, sumber kayu, sumber bahan bakar, dan masih banyak kegunaan lain namun belum pernah dipatenkan. Pada tahun 1980an, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat dan Jepang  telah mematenkan lebih dari selusin paten untuk senyawa atau produk yang berbasis Neem Tree tersebut. Pada kasus ini jelas bahwa pengetahuan lokal yang dikembangkan oleh peneliti dari India dan penduduk lokal telah diambil alih oleh orang asing yang sesungguhnya hanya memiliki peran yang kecil terhadap proses pengembangan potensi tersebut (Spennemann, 2010).
Pemerintah Amerika Serikat menurut Yee (2012) menolak untuk menandatangani kesepakatan tentang biodiversitas karena di dalamnya terkandung pelarangan paten terhadap komponen farmaseutikal yang berasal dari tumbuhan.

8. Perlindungan terhadap kekayaan intelektual, menurut konsepnya adalah perlindungan terhadap ekspresi sebuah ide bukan terhadap karya fisik yang diciptakan berdasarkan ide tersebut. Walaupun ide tersebut dapat ditiru atau digunakan oleh orang lain, namun pemilik awal ide tersebut tidak akan dirugikan atau nilai ide tersebut tidak akan berkurang. Pernyataan ini dapat dianalogikan dengan lilin. Nyala api pada sebuah lilin dapat digunakan untuk menyalakan lilin lainnya tanpa mematikan api pada lilin tersebut.

9. Perusahaan-perusahaan di negara maju memanfaatkan paten sebagai strategi bisnis dalam menghadapi kompetitornya.
Perusahaan diperbolehkan untuk membeli paten dalam rangka menghambat perusahaan lain untuk mengaplikasikan ide yang dipatenkan tersebut. Contohnya, pada tahun 1875, perusahaan Amerika Serikat AT&T mengkoleksi beberapa paten untuk memastikan monopoli yang ia lakukan pada industri telekomunikasi yaitu telepon. Akibat koleksi paten tersebut pengembangan industri radio menjadi tertahan selama kurang lebih 20 tahun. Contoh kasus lainnya, yaitu perusahaan listrik General Electric yang memproduksi incandescent lights atau lampu pijar, yang menggunakan paten untuk menghambat introduksi dan pengembangan lampu neon atau lampu TL (fluorescent lights). Lampu neon/TL diketahui merupakan kompetitor dari lampu pijar (Martin, 2012).

10.Informasi biologi seperti genetic sequence dapat dipatenkan.
Paten terhadap informasi genetika tentunya dimiliki oleh negara-negara maju yang penelitian bioteknologinya sangat berkembang. Paten yang dihasilkan dapat sangat merugikan negara-negara berkembang terutama negara-negara miskin atau yang biasa disebut negara dunia ketiga. Biasanya perusahaan atau ilmuwan di negara maju mematenkan informasi genetik tumbuhan atau hewan yang berasal dari negara dunia ketiga, sehingga jika warga negara tersebut ingin menggunakan benih atau materi genetik lainnya yang sebenarnya tersedia secara gratis di negaranya sendiri, mereka akan dikenakan kewajiban untuk membayar penggunaan paten kepada pemilik paten.

11. Kekayaan intelektual dapat diperjualbelikan. Artinya seseorang atau perusahaan yang memiliki kekuatan dan materi lah yang lebih diuntungkan.

12. Kekayaan intelektual sebenarnya tidak mutlak sepenuhnya merupakan hasil pemikiran seseorang.
Ide yang dihasilkan tentunya tidak dapat dibayangkan tanpa masukan, ide, pemikiran, hasil karya, atau hasil kerja sejumlah orang diluar diri seseorang. Inspirasi akan lahirnya sebuah ide pasti dipengaruhi oleh faktor eksternal. Maksudnya adalah bahwa hak monopoli yang diberikan oleh UU Hak Kekayaan Intelektual kurang tepat, karena bagaimana menentukan apakah ide tersebut benar-benar lahir dari seseorang.

13.  Masyarakat Indonesia mengenal kepemilikian komunal.
Nilai-nilai komunal yang dianut masyarakat Indonesia yang berkarakter tradisional bergerak bersebarangan dengan logika hak ekonomis pada hak kekayaan intelektual (Putri, 2012).

14. UU Hak Cipta yang dimiliki Indonesia tidak dapat mengakomodasi kekayaan kultural bangsa
Menurut Hayyan UI Hac Kandidat Doktor di Bidang Hukum Universitas Utrecht Belanda, UU HAKI no. 19/2002 tidak bisa mengakomodir kekayaan kultural bangsa. Oleh karena itu, banyak kebudayaan-kebudayaan asli Indonesia yang tidak dapat dipatenkan, karena UU ini mensyaratkan 3 komponen yaitu :
· Dia harus bersifat original atau sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya
· Sebuah ciptaan baru bisa dilindungi bila penciptanya diketahui
· Jangka waktu perlindungan dalam UU Hak Cipta Indonesia itu hanya seumur hidup sang pencipta ditambah 70 tahu setelah yang bersangkutan meninggal



Daftar Pustaka :
Anonim. 2012. Geneva Declaration. Diakses dari  http://www.cptech.org/ip/wipo/genevadeclaration.html [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Departemen Perindustrian. 2007. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA PROFESI DI BIDANG HUKUM.
Hayyan.2009.Klaim Tari Pendet, Kelemahan UU Hak Cipta Indonesia . Diakses dari http://jongjava.com/web/news-story/nasional/339-klaim-tari-pendet-kelemahan-uu-hak-cipta-indonesia [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Martin, B. dalam Yee, D. 2012.Against Intellectual Property. Diakses dari http://danny.oz.au/free-software/advocacy/against_IP.html [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Moglen, Eben. 2003. The Dot Communist Manifesto. Diakses dari http://emoglen.law.columbia.edu/my_pubs/dcm.html [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Putri, V.2012.Kritik Hukum Hak Cipta : Telaah Sosiologi Hukum tentang HaKI. Diakses dari http://vegitya.unsri.ac.id/index.php/posting/30 [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Spennemann,C. 2010. Biodiversity and Intellectual Property-The Quest for Coherence. Virtual Institue,UNCTAD.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar