Senin, 19 November 2012

UTS Etika Profesi : Embryo Yatim Piatu

Kasus :

Asep Jatnika dan Shinta Bella adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama 8 tahun dan belum dikaruniai anak. Pada tahun 2011, pasangan suami istri ini mendatangi Klinik Bunda Ceria dan meminta jasa klinik tersebut untuk bisa mendapatkan anak melalui teknik in vitro fertilization (IVF). Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya diperoleh delapan embryo yang siap diimplantasikan. Empat dari delapan embryo yang diperoleh kemudian diimplantasikan kedalam kandungan Ny. Shinta Bella, sementara empat embryo lainnya, atas permintaan suami istri tersebut, disimpan dalam keadaan beku untuk digunakan dikemudian hari.
Delapan bulan kemudian, Ny. Shinta Bella melahirkan dua orang bayi kembar laki-laki dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Tahun ke tiga setelah kehamilannya, pasangan tersebut berencana untuk memiliki anak ketiga dengan menggunakan embryo mereka yang tersimpan di Klinik Bunda Ceria. Namun, sebelum niat iu terlaksana, keluarga ini mengalami kecelakaan tragis yang mengakibatkan seluruh anggota keluarga Asep Jatnika (suami, istri dan kedua anak mereka) meninggal dunia. Keadaan ini baru diketahui tiga tahun kemudian oleh klinik Bunda Ceria, ketika mereka berusaha menghubungi (alm) Bapak Asep Jatnika untuk meminta ijin penggunaan embryo keluarga tersebut pada penelitian sel punca embryonik (embryonic stem cell) oleh sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung. Penelitian tersebut telah mendapatkan ijin dari pihak yang berwenang dan para peneliti berharap dapat menggunakan embryo milik keluarga Asep Jatnika pada penelitian mereka.

Pertanyaan :
1. Apakah klinik IVF memiliki wewenang untuk menyerahkan embryo “yatim-piatu” keluarga Asep Jatnika kepada tim peneliti sel punca ? Menurut pertimbangan saudara siapa yang berhak terhadap embryo “yatim-piatu” keluarga Asep Jatnika.
2. Jika saudara merupakan orang yang berhak untuk menerima embryo “yatim-piatu tersebut” apa yang akan saudara lakukan terhadap embryo tersebut ?
a. Memperbolehkan embryo tersebut digunakan untuk penelitian sel punca
b. Terus menyimpan embryo tersebut
c. Memusnahkan embryo tersebut
d. Menawarkan embryo tersebut untuk diadopsi oleh keluarga lain
e. Menjual embryo tersebut kepada pihak pihak yang membutuhkan

Studi kasus ini diadaptasi dari The Orphan Embryos:
A Case Study in Bioethics (Iowa State University, USA)
http://www.bioethics.iastate.edu/classroom/orphanembryos.html yang ditulis oleh :
1. Maria M. C. de Gouveia, Dept. Biology, University of Madeira, Portugal
2. Enrique Ianez Pareja, Dept. Microbiology, University of Granada, Spain
3. Donald Sakaguchi, Neuroscience Program, Iowa State University, USA
4. Heloisa G. dos Santos, Hospital S. Maria and Faculdade Medicina, Univ. de Lisboa, Portugal
5. Peter Whittaker, National University of Ireland, Ireland

Analisis :

1. Pendahuluan

a. IVF (In Vitro Fertilization)

In vitro fertilization atau dikenal dengan proses bayi tabung adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita (Heru, 2011). Teknik bayi tabung ini dikembangkan untuk membantu pasangan infertil yang ingin mempunyai keturunan. Wanita distimulasi dengan hormon agar dapat memberikan sejumlah sel telur sekaligus. Secara normal, sel telur didedahkan dengan sperma dalam kondisi lingkungan yang diatur menyerupai kondisi alami bagian anterior oviduct dimana fertilisasi internal terjadi, selanjutnya akan dihasilkan sel telur yang sudah terfertilisasi dan terbentuklah embrio. 
Embrio-embrio terbaik yang dihasilkan akan diinkubasi hingga berkembang menjadi blastokista. Biasanya jumlah blastokista yang diimplan di dalam uterus wanita adalah tiga buah. Embrio lainnya dapat disimpan dengan nitrogen cair selama waktu tertentu sebagai cadangan manakala kehamilan yang diharapkan gagal atau untuk penggunaan di masa yang akan datang saat pasangan suami istri tersebut ingin memperoleh keturunan lagi.


Gambar 1. Proses IVF (In Vitro Fertilization) (Anonim 1, 2012)

Walaupun kini teknologi bayi tabung telah diterima dan dikenal oleh sebagian besar masyarakat, namun pada awal perkembangannya teknik ini juga menuai perdebatan secara etika. Berikut ini adalah sudut pandang Islam mengenai bayi tabung dan pedoman hukum pelaksanaan bayi tabung yang berlaku di Indonesia.

Teknik IVF dari Sudut Pandang Islam
Proses bayi tabung atau teknik IVF dalam Islam hukumnya adalah mubah atau boleh dilakukan jika memang pasangan suami istri yang akan melakukan proses tersebut memang benar-benar membutuhkan karena dengan proses pembuahan secara alami pasangan suami istri tersebut sulit memperoleh anak. MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga sudah mengeluarkan fatwa bahwa bayi tabung diperbolehkan asalkan sel telur dan sperma berasal dari pasangan suami istri yang sah serta embrio hasil bayi tabung tersebut diimplan ke dalam rahim istri tersebut. Bayi tabung haram jika embrio diimplan ke rahim wanita lain (surogasi) atau sperma berasal dari sperma beku yang berasal dari pasangan yang tidak sah (Anonim 2, 2011).

Pedoman Hukum Pelaksanaan IVF di Indonesia
Pelaksanaan proses IVF atau bayi tabung di Indonesia diatur dan dijelaskan dari hukum perdata, Undang-Undang Kesehatan, serta Keputusan Menteri Kesehatan. Menurut pandangan hukum perdata penjelasan mengenai proses bayi tabung dikelompokkan berdasarkan sumber sel telur dan spermanya, seperti dijelaskan berikut ini :
a. Jika benih berasal dari suami istri
  • Jika benih berasal dari suami istri, dilakukan proses fertilisasi in vitro, kemudian embrio ditransfer ke dalam rahim istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai status sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan keperdataan lainnya.
  • Jika implantasi embrio ke dalam rahim ibu terjadi saat ibu telah bercerai dengan suaminya, maka jika anak tersebut lahir sebelum 300 hari perceraian, anak mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah 300 hari, maka anak itu bukan anak sah suami dan tidak memiliki hubungan keperdataan dengan bekas suami ibunya tersebut (Dasar Hukum pasal 255 KUH Perdata).
  • Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang bersuami, maka  secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil bukan pasangan yang mempunyai benih (Dasar Hukum pasal 42 UU No.1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata).
b. Jika salah satu benih berasal dari donor
  • Jika suami mandul dan istri subur maka proses IVF dapat dilakukan sesuai dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur istri akan dibuahi oleh sperma donor. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan kecuali suami menyangkalnya dengan melakukan tes DNA (Dasar Hukum pasal 250 KUH Perdata).
 • Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut (Dasar Hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata).
c. Jika semua benih berasal dari donor
  • Jika sel telur dan sperma berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita yang terikat perkawinan maka anak yang dilahirkan mempunyai status sah dari pasangan suami istri tersebut.
  • Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan anak tersebut bukan pula anak biologisnya.

Undang Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 juga menjelaskan tentang proses bayi tabung. Pada pasal tersebut dituliskan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c. pada fasilitas kesehatan.

Selain itu proses penyelenggaraan IVF atau bayi tabung ini juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan ketentuan umum, perizinan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Selanjutnya Keputusan Menteri tersebut dibuat instrumentasinya dengan disusunnya Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Kementrian Kesehatan RI, yang berisi :
a. Pelayanan teknik reproduksi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami istri yang bersangkutan.
b. Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
c. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari tiga embrio, boleh dipindahkan 4 embrio jika dalam keadaan seperti :
  • rumah sakit memiliki tiga tingkat perawatan intensif bayi baru lahir,
 • pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal,
  • istri berumur lebih dari 35 tahun
d. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.
e. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ovum, atau embrio.
f. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian. Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas.
g. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi.
h. Sel telur yang telah dibuahi oleh sperma manusia tidak boleh dibiakkan secara in vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu simpan beku).
i. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ovum, spermatozoa, atau embrio tanpa seijin dari siapa sel ovum atau sperma tersebut berasal.
j. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi trans-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fertilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap dua sel.


b. ESC (Embryonic Stem Cell)
Embryonic stem cell atau sel punca embrionik adalah sel punca yang berasal dari embrio pada fase blastokista yang memiliki kemampuan pluripotensi atau memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi seluruh tipe sel namun tidak dapat membentuk struktur ekstra-embrionik (Mummery et al., 2011). Sel punca embrionik diperoleh dengan cara mengisolasi inner cell mass (ICM) dari embrio pada fase blastokista yang berumur 5-7 hari setelah pembuahan.


Gambar 2. Sel Punca Embrionik (Anonim 3, 2010)

Penelitian mengenai sel punca embrionik dilakukan karena saat ini telah diketahui bahwa sel punca embrionik memiliki prospek sebagai sebuah terapi pengobatan untuk menyembuhkan banyak penyakit yang saat ini sulit diobati sepeti, Alzheimer, Parkinson, Diabetes, Jantung, Kanker, Leukemia, Sickle Cell Anemia, penyakit imunodefisiensi, dan penyakit retina. Inner cell mass yang diisolasi kemudian dikultur secara in vitro di laboratorium dengan kondisi tertentu dengan menggunakan medium spesifik. Setelah bereplikasi beberpa kali dan membentuk banyak sel kemudian sel tersebut dapat diinduksi dengan faktor tumbuh tertentu untuk berdiferensiasi menjadi sel yang diinginkan.


Gambar 3. Penelitian Sel Punca Embrionik (Anonim 4, 2012)

Secara umum terdapat tiga cara untuk mendapatkan sel punca embrionik (Korenman, 2006) yaitu:
Sel telur dan sperma berasal dari donor kemudian dilakukan pembuahan secara in vitro. Setelah zigot terbentuk lalu berkembang menjadi blastokista, inner cell mass diisolasi dan dirangsang untuk membelah dalam medium kultur. Selanjutnya sel-sel yang dipindahkan tersebut diinduksi menjadi kumpulan sel (cell line) dan dengan faktor tumbuh tertentu sel akan berdiferensiasi menjadi sel yang diinginkan.
Inner cell mass diperoleh dari embrio-embrio tahap blastokista yang berasal dari sisa proses bayi tabung (IVF).
Metode SCNT (Somatic Cell Nuclear Transfer). Pada metode ini, sel telur berasal dari donor wanita yang melalui proses superovulasi. Inti sel telur yang mengandung materi genetik kemudian dipindahkan dan diganti dengan materi genetik dari sel dewasa (misal penderita penyakit yang ingin menjalani terapi sel punca). Setelah sel berkembang menjadi blastokista kemudian bagian inner cell massnya diambil untuk menjadi kumpulan sel punca embrionik.

Sama halnya dengan teknologi bayi tabung, penelitian dan pengembangan sel punca embrionik juga menghadapi masalah etika. Perdebatan yang muncul dari teknologi ini adalah penggunaan embrio manusia sebagai bahan penelitian. Proses pengisolasian inner cell mass dari blastokista dapat menyebabkan degradasi atau kerusakan embrio. Kelompok yang menolak penelitian sel punca embrionik berpendapat bahwa tindakan yang menyebabkan kerusakan embrio tersebut sama halnya dengan membunuh atau setara dengan tindakan aborsi. Kelompok ini berpendapat bahwa kehidupan dimulai saat terjadi pembuahan atau konsepsi. Kelompok yang mendukung penelitian sel punca embrionik berpendapat bahwa blastokista hanyalah sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi dan belum ada kehidupan disana sehingga tindakan tersebut bukanlah tindakan menghilangkan nyawa. Lagipula penelitian tentang sel punca embrionik ini akan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia kelak.

Pandangan Islam Terhadap Penelitian Sel Punca Embrionik
Agama Islam sangat mendukung pengembangan ilmu pengetahuan terlebih lagi jika hal tersebut untuk kebaikan umat manusia bahkan ayat Al Quran yang pertama kali turun surat Al Alaq ayat 1-5 memerintahkan kita untuk membaca, arti kata membaca disini maksudnya adalah bahwa kita harus mempelajari segala fenomena alam dan kehidupan yang ada di muka bumi ini.
Mengenai penelitian tentang sel punca embrionik, Islam memperbolehkan penelitian sel punca embrionik karena berdasarkan hadits Bukhari-Muslim berikut :

“Telah bersabda Rasulullah SAW dan dialah yang bena dan dibenarkan. Sesungguhnya seorang diantara kamu dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim ibunya (embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan segumpal darah. Kemudian selama itu juga (empat puluh hari) dijadikan sepotong daging. Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya (untuk menuliskan/menetapkan) empat kalimat (macam): rezekinya, ajalnya (umur), amalnya, dan buruk baik (nasibnya).”

Diketahui bahwa embrio diberikan kehidupan oleh Allah SWT dengan cara ditiupkannya ruh pada saat embrio berusia 120 hari atau empat bulan. Penelitian sel punca embrionik menggunakan embrio yang berusia kurang dari 120 hari yaitu berusia 5-7 hari. Menurut pandangan ulama Muhammadiyah juga disebutkan bahwa penelitian atau penggunaan sel punca embrionik boleh dilakukan jika sel punca embrionik merupajan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa manusia dan sel-sel yang diambil berasal dari embrio sisa program bayi tabung yang sperma dan sel telurnya berasal dari pasangan suami istri yang sah (Anonim 5, 2008).

Pedoman Hukum yang Berlaku di Indonesia
Di Indonesia penggunaan dan penyelenggaraan sel punca diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 833/Menkes/Per/IX/2009. Selain itu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Per/II/1999 melalui Pedoman Pelayanan Bayi Tabung oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta Kementrian Kesehatan RI terdapat poin yang menyebutkan bahwa larangan penggunaan embrio untuk penelitian adalah embrio yang berusia lebih dari 14 hari. 

2. Penentuan Status Moral Embryo
Penentuan status moral embryo penting untuk dilakukan sebagai analisis untuk menyelesaikan kasus embryo yatim piatu di atas. Jika sesuatu memiliki status moral maka ia tidak bisa menerima perlakuan yang semena-mena. Status moral suatu entitas sebenarnya bergantung kepada sifat-sifat intrinsik kemanusiaan yang dimilikinya. Sifat-sifat yang hanya menunjukkan karakteristik biologis tidak cukup untuk menentukan apakah suatu entitas memiliki status moral atau tidak. 

Menurut Baertschi (2008) sifat intrinsik yang dapat menunjukkan kemanusiaan suatu entitas adalah mampu menunjukkan kemampuan berpikir secara konseptual dan kapasitas untuk bertindak sebagai agen moral, misalnya menginginkan keadilan, dapat mengungkapkan pendirian atau pendapat dengan baik, dapat menjadi penilai karakter, dapat bersifat munafik dan tidak puas diri. Hal ini juga diungkapkan melalui pandangan The Person (Warren dalam Steinbock, 2006) bahwa ciri paling sentral yang menunjukkan kemanusiaan sesuatu adalah kesanggupan dalam merasa atau sentience (kapasitas untuk mengalami kesenangan dan kesakitan), kesadaran, kesadaran diri, memiliki kemampuan untuk melakukan reasoning atau berpikir, memiliki motivasi dalam diri, memiliki kemampuan dalam berbahasa.

Menurut Joel Feinberg (1974) dalam Steinbock (2006) melalui teorinya yaitu interest principle, sesuatu yang memiliki hak atau yang memiliki status moral adalah sesuatu yang bisa memiliki dan melindungi kepentingannya. Yang dimaksud kepentingan (interest) disini menurut Feinberg yaitu “interest are connected to what we care about or want, to our concerns and goals, to what is important or matters to us” yang berarti sesuatu yang sangat kita inginkan dan sangat penting bagi kita. Interest ini sangat erat kaitannya dengan sentience atau kesanggupan merasa karena tentunya untuk memiliki interest kita harus memiliki sentience. Maka dari pandangan ini disimpulkan bahwa semua yang memiliki sentience (sentient being) berarti memiliki status moral. Berdasarkan ketiga pandangan yang telah disebutkan, dapat dengan jelas dikatakan bahwa embryo tahap blastokista yang berumur 5-7 hari belum memiliki status moral. Begitu pula dengan pandangan dari Marquis and FLO Account yang juga menyatakan bahwa embryo umur 5-7 hari belum memiliki status moral (Steinbock, 2006). Namun, bukan berarti jika sesuatu yang tidak memiliki status moral dapat diperlakukan dengan semena-mena. Sesuatu yang tidak berstatus moral bisa mendapatkan perlindungan karena nilai moral yang dimilikinya (Steinbock, 2006). 
  
3. Penentuan Hak atas Embyo
Berdasarkan Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Kementrian Kesehatan RI, telah jelas dikatakan bahwa klinik atau rumah sakit yang melakukan pelayanan bayi tabung tidak boleh memperjualbelikan sperma, sel telur, dan embryo serta dilarang untuk melakukan penelitian atau eksperimen terhadap dan atau menggunakan embrio, sel telur, dan atau sperma tanpa izin khusus dari siapa sel telur, sperma, atau embryo tersebut diperoleh. Jadi dapat disimpulkan bahwa Klinik Bunda Ceria tidak berhak dan tidak memiliki wewenang untuk menyerahkan embryo tersebut kepada peneliti dari universitas tanpa meminta izin atau memiliki kesepakatan dengan pemiliknya.

Dalam kasus ini pemilik embryo tersebut yakni Asep Jatnika dan Shinta Bella tidak diketahui apakah sudah memiliki kesepakatan atau perjanjian dengan Klinik Bunda Ceria tentang siapa yang berhak dan apa yang harus dilakukan terhadap sisa embryo yang dimilikinya jika mereka meninggal atau tidak memiliki kemampuan untuk menentukan. Oleh karena itu berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa embryo tersebut tidak memiliki status moral maka embryo dapat disebut sebagai “benda” hidup kemudian dikategorikan ke dalam harta waris dan yang berhak serta berwenang atasnya adalah ahli waris.

Menurut hukum acara perdata harta warisan memiliki definisi semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris) baik harga benda itu sudah dibagi atau belum dibagi. Harta benda atau harta kekayaan yang ditinggalkan tersebut dapat berupa yang bersifat aktiva yaitu sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa taguhan/piutang kepada pihak ketiga. Selain itu benda yang bersifat aktiva dapat pula berupa hak immaterial contohnya hak cipta. Selanjutnya yang bersifat pasiva, yaitu sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban lainnya, contohnya menyimpan benda pada orang lain. Namun jika ditinjau dari segi bahasa Arab pengertian objek waris sangat luas tidak hanya terbatas pada harta benda melainkan bisa juga berupa ilmu, kebesaran, kemuliaan, dan sebagainya sesuai dengan sabda Rasulullah “Para ulama adalah ahli waris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan uang dirham atau uang dinar, melainkan mewariskan ilmu. Maka barangsiapa memperoleh ilmu. Ia telah memperoleh bagian warisan para nabi yang melimpah.” Sedangkan ditinjau dari ilmu Faraidh, harta yang dipindahkan hak pemilikannya dapat berupa harta, tanah, maupun hak-hak lain yang sah (Al Sabouni, 2005). Oleh karena itu, embryo berdasarkan penjelasan di atas juga dapat dimasukkan ke dalam kategori harta warisan.

Berdasarkan hukum waris Islam, ada dua kelompok ahli waris dari kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Ahli waris kelompok laki-laki terdiri dari :
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
c. Ayah
d. Kakek yang shahih dan seterusnya ke atas
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak lelaki dari saudara laki-laki sekandung
i. Anak lelaki dari saudara laki-laki seayah
j. Saudara laki-laki ayah (paman) sekandung
k. Saudara laki-laki ayah (paman) seayah
l. Anak lelaki dari paman sekandung
m. Anak lelaki dari paman seayah
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya

Selanjutnya ahli waris kelompok perempuan terdiri dari :
a. Anak perempuan
b. Ibu
c. Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
d. Nenek yang shahih dan seterusnya ke atas (ibu dari ibu)
e. Nenek yang shahih dan seterusnya ke atas (ibu dari ayah)
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Saudara perempuan seibu
i. Istri
j. Perempuan yang memerdekakan budak

Pedoman mengenai ketentuan pembagian warisan berdasarkan hukum Islam dijelaskan di dalam Al Quran surat Annisa ayat 11 yaitu : 

“Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua. Untuk dua orang ibu bapak, untuk masing-masingnya seperenam dari peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga, tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutang-hutangnya. Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui, siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfaatnya kepadamu. Inilah suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Berdasarkan penjelasan di atas maka yang menjadi ahli warisnya adalah ibu, ayah, dan saudara-saudara sekandung. 

4. Tindakan Selanjutnya Terhadap Embryo
Jika saya adalah salah satu ahli waris embryo Asep Jatnika dan Shinta Bella, maka saya beserta ahli waris lainnya harus bermusyawarah untuk menentukan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan terhadap embryo tersebut. Keputusan mengenai tindakan tersebut harus merupakan persetujuan dari seluruh ahli waris. 

Dari kelima pilihan tindakan yang diberikan maka pilihan yang paling mungkin dilakukan adalah memperbolehkan embryo tersebut digunakan untuk penelitian sel punca embrionik atau tetap menyimpannya di Klinik Bunda Ceria. Pilihan lain seperti menjual embryo kepada pihak yang membutuhkan, jelas tidak diperbolehkan oleh peraturan (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan), jika dilakukan maka saya dapat dikatakan melanggar hukum. Demikian pula dengan pilihan untuk memusnahkan embryo. Kata “memusnahkan” sama dengan melakukan tindakan semena-mena dan merupakan tindakan yang “menyia-nyiakan” embrio. Walaupun pada penjelasan sebelumnya telah disimpulkan bahwa embryo tidak memiliki status moral tetapi bukan berarti kita dapat melakukan tindakan yang semena-mena. Embrio memiliki nilai moral yang patut pula dihargai, analoginya sama dengan bendera sebagai lambang negara atau Al Quran sebagai kitab suci umat Islam. Pilihan untuk menawarkan embryo tersebut untuk diadopsi oleh keluarga lain juga tidak mungkin dilakukan. Secara hukum perdata memang jelas jika embryo diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami atau terikat perkawinan maka anak tersebut secara yuridis adalah sah sebagai anak pasangan penghamil bukan anak pasangan dimana benih berasal (Dasar Hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata). Namun, secara hukum agama (agama Islam) hal ini akan menimbulkan kerancuan mengenai status mahram (siapa yang haram untuk dinikahi) dan sistem pembagian warisan.

Ada beberapa alasan mengapa saya memilih memperbolehkan embryo untuk digunakan dalam penelitian sel punca embrionik. Pertama, berdasarkan teori etika saya memilih untuk bersikap konsekuensialis. Prinsip konsekuensialisme berfokus pada hasil akhir dari kegiatan yang dilakukan, bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan hasil akhir yang diperoleh. Suatu tindakan akan dinilai baik ketika menghasilkan sesuatu yang baik atau utilitarian artinya tindakan yang dilakukan untuk memperoleh sebesar-besarnya manfaat (Holsinger, 2009). Penelitian sel punca embrionik telah diketahui akan menghasilkan manfaat yang besar dalam dunia medis sebagai terapi pengobatan. Kedua, dalam prinsip bioetika terdapat istilah beneficence (menghasilkan kebaikan dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan keburukan) serta least harm (meminimalkan kemungkinan bahaya atau kerugian yang timbul atas suatu tindakan yang dipilih) (Rainbow, 2002), kedua prinsip ini menjadi acuan dalam memilih tindakan yang harus dilakukan. 

Ketiga, ayat Al Qur’an yang pertama diturunkan, yaitu Iqra (QS: Al Alaq 1-5), memerintahkan agar umat Islam mendalami ilmu dengan membaca ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat kauliyah (Al Qur’an) maupun ayat-ayat kauniyah (alam). Selanjutnya, banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan mempelajari ilmu pengetahuan yang Allah SWT tunjukkan, termasuk ilmu pengetahuan berhubungan dengan makhluk hidup (misalnya penciptaan, tingkah laku, pertumbuhan, dan sebagainya). Tidak terkecuali tentunya dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan stemcell research, apalagi di dalam ilmu tersebut terkandung manfaat yang sangat besar bagi berjuta umat manusia yang mengalami penderitaan akibat sakit yang tiada berkesudahan dan sulit dicari obatnya 

5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka Klinik Bunda Ceria tidak memiliki wewenang untuk menyerahkan embryo dari Asep Jatnika dan Shinta Bella kepada peneliti sel punca embrionik. Ahli waris adalah orang-orang yang berwenang dalam menentukan tindakan selanjutnya terhadap embrio. Untuk memutuskan tindakan apa yang harus dipilih perlu dipertimbangkan berbagai aspek, menimbang baik buruk, serta seberapa besar manfaatnya namun tetap memenuhi unsur etis dan moral. Dalam kasus ini dipilih tindakan untuk memperbolehkan embryo digunakan dalam penelitian sel punca karena pertimbangan manfaat yang akan diperoleh.




Daftar Pustaka
Al Soubuni, M. A. 2005. Hukum Kewarisan Menurut Al Quran dan Sunnah. Dar Al Kutub Al Islamiyah : Jakarta.
Anonim 1, 2012. In Vitro Fertilization. http://www.meditourcz.com/medicalprocedure/ivf-fertilization/. Tanggal Akses : 21 Oktober 2012.
Anonim 2, 2012. Mengurai Hukum Bayi Tabung. http://www.bayitabung.net/category/hukum-bayi-tabung. Tanggal Akses : 21 Oktober 2012.
Anonim 3. 2010. Mengenai Stem Cell. Dalam Science Biotech. University of California Regents, US. Diakses Sabtu, 29 September 2012. Tersedia di http://sciencebiotech.net/mengenal-stem-cell/
Anonim 5, 2008. Semua pemuka agama Indonesia melarang penggunaan stem cell yang haram hukumnya menurut agama. http://teknologitinggi.wordpress.com/2008/07/27/semua-pemuka-agama-indonesia-melarang-penggunaan-stem-cells-yang-haram-hukumnya-menurut-agama/. Tanggal Akses : 21 Oktober 2012.
Baertschi, Bernard. 2008. The question of embryo’s moral status. Bioethica Forum. Vol 1 No.2.
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
Holsinger, Kent. 2009. Conseqentialist vs. Non-consequentialist theories of ethics.http://darwin.eeb.uconn.edu/eeb310/lecture-notes/value-ethics/node3.html. Tanggal Akses : 13 Oktober 2011.
Korenman, Stanley G. 2006. Human Embryonic Stem Cell Research. Dalam Teaching the Responsible Conduct of Research in Humans (RCRH). Diakses Sabtu, 29 September 2012. Tersedia di http://ori.hhs.gov/education/products/ucla/chapter7/page01.htm 
Mummery, C., I Wilmut, A. van de Stolpe dan B.A.J. Roelen. 2011. Stem Cells Scientific Facts and Fiction. Elsevier. California, USA.
Quran Surat Annisa, Ayat 11.
Rainbow, Catherine. 2002. Description of ethical theoris and principles.http://www.bio.davidson.edu/people/kabernd/indep/carainbow/Theories.htm. Tanggal Akses : 15 Oktober 2011.
Steinbock, Bonnie. 2007. The Oxford Handbook of Bioethics. Oxford University Press : New York.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 834/MENKES/SK/IX/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca.
Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Pasal 127.

Minggu, 18 November 2012

Kritik Terhadap HaKI

Kritik Terhadap HaKI (Hak Kekayaan Intelektual)

Hak kekayaan intelektual atau IPR (Intellectual Property Rights) adalah hak yang muncul karena kemampuan intelektual manusia. Obyek yang termasuk ke dalam kekayaan intelektual yaitu berupa hasil pemikiran atau sesuatu yang timbul karena kemampuan atau aktivitas intelektual manusia.  Hak kekayaan intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan pemerintah berdasarkan undang-undang untuk menikmati secara ekonomis hasil dari kreativitas intelektual tersebut dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya kecuali atas izin pemilik. Hak eksklusif tersebut meliputi hak untuk :
· Membuat salinan dari hasil karya dan menjual hasil salinan tersebut
· Mengimpor atau mengekspor hasil karya
· Menciptakan karya turunan dari hasil karya ciptaannya
· Menampilkan hasil karya di depan umum
· Menjual atau mengalihkan kepemilikan hak eksklusif tersebut kepada pihak lain

Secara umum Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi ke dalam dua bagian yaitu Hak Cipta (copyrights) dan Hak Kekayaan Industri (industrial property rights). Hak Kekayaan Industri mencakup paten, desain industri, merek, penanggulangan praktek persaingan curang, desain tata letak sirkuit terpadu, dan rahasia dagang. Di Indonesia badan yang berwenang dalam mengurusi HaKI adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

Sistem perlindungan terhadap kekayaan intelektual di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Pada awal masa kemerdekaan Indonesia menggunakan UU Hak Cipta dan UU tentang merek peninggalan dari pemerintahan Belanda. Selanjutnya pada tahun 1979 Indonesia meratifikasi konvensi Paris tentang HaKI (Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization) melalui Keppres No. 24 tahun 1979 yang kemudian diubah menjadi Keppres No. 15 tahun 1997. Dengan meratifikasi konvensi Paris berarti Indonesia masuk ke dalam keanggotaan WIPO (World Intellectual Property Organization), suatu organisasi yang dibentuk PBB untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Selain konvensi Paris, Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi lain di bidang HaKI ini seperti :
a. Patent Coorperation Treaty (PCT) and Regulation under the PTC, dengan Keppres NO. 16 Tahun 1997;
b. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
c. Bern Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works dengan Keppres No. 18 tahun  1997;
d. WIPO copyrights treadty (WCT) dengan Keppres No. 19 tahun 1997;
(Departemen Perindustrian, 2007)

Pada tahun 1994, Indonesia bergabung ke dalam organisasi perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Astablishing the World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian terpenting darti persetujuan  WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counter\feit Goods (TRIPs).
Dalam perkembangannya, kesepakatan atau peraturan mengenai HaKI ini ternyata menuai pro dan kontra. Banyak krtik dan tuduhan yang diberikan kepada HaKI, bahwa peraturan atau kesepakatan-kesepakatan tentang HaKI banyak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Secara umum terdapat dua pandangan kritik tentang HaKI di masyarakat, pertama adalah bahwa konsep HaKI yang ada sudah tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Banyak permasalahan timbul dan penyelesaiannya sulit ditemukan karena HaKI belum bisa mengakomodasi permasalahan tersebut. Kedua, konsep HaKI memang dari awal tidak pernah menguntungkan masyarakat umum tetapi selalu memperkaya pihak-pihak tertentu dengan mengorbankan kreativitas. Berikut ini kritik-kritik yang berkembang di masyarakat tentang konsep HaKI :

1. Konsep HaKI dibuat untuk kepentingan kaum kapitalis
Perlindungan mengenai hak cipta pada awalnya adalah ide dari negara-negara kapitalis atau negara-negara post modernisme. Dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya mengenai sejarah penyusunan UU HaKI di Indonesia selalu mengacu pada kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dari konvensi-konvensi yang diprakarsai oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang kita ketahui bersama adalah negara-negara kapitalis. Banyak kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang disisipkan dalam kesepakatan yang dibuat (akan dijelaskan pada contoh-contoh kasus selanjutnya), dan negara-negara anggota yang meratifikasi kesepakatan tersebut mau tidak mau harus mengikuti semua ketentuan yang dibuat. Orang-orang kapitalis menganggap bahwa pengetahuan-pengetahuan individu sebagai harta yang boleh dimiliki, dan bagi orang yang mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut tidak diperbolehkan memanfaatkannya kecuali atas izin pemegang paten dan ahli warisnya sesuai dengan standar-standar tertentu.

2. Konsep UU Hak Cipta Inggris menurut sejarahnya berpihak pada industri.

3. Pada tahun 2004, World Intellectual Property Organization (WIPO) mendapatkan kritik dalam The Geneva Declaration on the Future of the World Intellectual Property Organization
Kritik tersebut mengatakan bahwa WIPO seharusnya menempatkan kekayaan intelektual sebagai salah satu alat pembangunan di negara-negara berkembang, bukan justru peraturan tentang HaKI mematikan atau menghambat pembangunan itu sendiri (Anonim, 2012).

4. Eben Moglen seorang profesor bidang hukum di Columbia University menyatakan bahwa konsep HaKI merupakan suatu bentuk proteksionisme intelektual ataupun monopoli intelektual yang mengancam kepentingan publik melalui suatu legislasi yang proteksionis (Moglen, 2003).

5. Penyusunan UU Hak Cipta diprakarsai WTO (World Trade Organization)
Dalam sejarah penyusunannya, kesepakatan mengenai hak cipta diprakarsai oleh WTO (World Trade Organization) untuk melindungi kepentingan negara-negara maju dalam rangka menghadapi perdagangan bebas dan globalisasi.

6. Sejumlah aktivis HAM menuduh UU Hak Cipta hanya sekedar alat rekayasa negara-negara post modernism untuk memperluas hegemoni kekuasaan ekonominya di negara-negara berkembang.
Pernyataan ini terbukti dengan adanya kasus obat anti AIDS yang dipatenkan di negara maju, padahal penderita AIDS banyak dijumpai di negara-negara berkembang (misal Afrika) sehingga harga obat anti AIDS tersebut sangat mahal (Fergusson, 2003).

7. UU tentang kekayaan intelektual adalah alat  penjajahan masa kini.
Pada contoh kasus bioprospek jelas terlihat terjadi bioimperialisme melalui paten. Telah diketahui bahwa sebanyak tiga per empat senyawa yang digunakan dalan industri farmasi di dunia berasal dari tumbuhan yang digunakan oleh penduduk tradisional. Hanya sekitar 2% senyawa dari tumbuhan yang ditemukan sendiri oleh peneliti (Yee, 2012). Walaupun kini berkembang metode pembagian keuntungan atau pemberian insentif pada penduduk lokal sebagai penghargaan atas pengetahuan tradisionalnya untuk mencari potensi senyawa obat, namun tetap saja paten atas formula obat tersebut dimiliki oleh negara maju, yang artinya jika negara berkembang membutuhkan obat tersebut maka harus mengeluarkan biaya yang mahal.
Misalnya, kasus Neem Tree yang di India telah lama digunakan sebagai obat, sumber kayu, sumber bahan bakar, dan masih banyak kegunaan lain namun belum pernah dipatenkan. Pada tahun 1980an, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat dan Jepang  telah mematenkan lebih dari selusin paten untuk senyawa atau produk yang berbasis Neem Tree tersebut. Pada kasus ini jelas bahwa pengetahuan lokal yang dikembangkan oleh peneliti dari India dan penduduk lokal telah diambil alih oleh orang asing yang sesungguhnya hanya memiliki peran yang kecil terhadap proses pengembangan potensi tersebut (Spennemann, 2010).
Pemerintah Amerika Serikat menurut Yee (2012) menolak untuk menandatangani kesepakatan tentang biodiversitas karena di dalamnya terkandung pelarangan paten terhadap komponen farmaseutikal yang berasal dari tumbuhan.

8. Perlindungan terhadap kekayaan intelektual, menurut konsepnya adalah perlindungan terhadap ekspresi sebuah ide bukan terhadap karya fisik yang diciptakan berdasarkan ide tersebut. Walaupun ide tersebut dapat ditiru atau digunakan oleh orang lain, namun pemilik awal ide tersebut tidak akan dirugikan atau nilai ide tersebut tidak akan berkurang. Pernyataan ini dapat dianalogikan dengan lilin. Nyala api pada sebuah lilin dapat digunakan untuk menyalakan lilin lainnya tanpa mematikan api pada lilin tersebut.

9. Perusahaan-perusahaan di negara maju memanfaatkan paten sebagai strategi bisnis dalam menghadapi kompetitornya.
Perusahaan diperbolehkan untuk membeli paten dalam rangka menghambat perusahaan lain untuk mengaplikasikan ide yang dipatenkan tersebut. Contohnya, pada tahun 1875, perusahaan Amerika Serikat AT&T mengkoleksi beberapa paten untuk memastikan monopoli yang ia lakukan pada industri telekomunikasi yaitu telepon. Akibat koleksi paten tersebut pengembangan industri radio menjadi tertahan selama kurang lebih 20 tahun. Contoh kasus lainnya, yaitu perusahaan listrik General Electric yang memproduksi incandescent lights atau lampu pijar, yang menggunakan paten untuk menghambat introduksi dan pengembangan lampu neon atau lampu TL (fluorescent lights). Lampu neon/TL diketahui merupakan kompetitor dari lampu pijar (Martin, 2012).

10.Informasi biologi seperti genetic sequence dapat dipatenkan.
Paten terhadap informasi genetika tentunya dimiliki oleh negara-negara maju yang penelitian bioteknologinya sangat berkembang. Paten yang dihasilkan dapat sangat merugikan negara-negara berkembang terutama negara-negara miskin atau yang biasa disebut negara dunia ketiga. Biasanya perusahaan atau ilmuwan di negara maju mematenkan informasi genetik tumbuhan atau hewan yang berasal dari negara dunia ketiga, sehingga jika warga negara tersebut ingin menggunakan benih atau materi genetik lainnya yang sebenarnya tersedia secara gratis di negaranya sendiri, mereka akan dikenakan kewajiban untuk membayar penggunaan paten kepada pemilik paten.

11. Kekayaan intelektual dapat diperjualbelikan. Artinya seseorang atau perusahaan yang memiliki kekuatan dan materi lah yang lebih diuntungkan.

12. Kekayaan intelektual sebenarnya tidak mutlak sepenuhnya merupakan hasil pemikiran seseorang.
Ide yang dihasilkan tentunya tidak dapat dibayangkan tanpa masukan, ide, pemikiran, hasil karya, atau hasil kerja sejumlah orang diluar diri seseorang. Inspirasi akan lahirnya sebuah ide pasti dipengaruhi oleh faktor eksternal. Maksudnya adalah bahwa hak monopoli yang diberikan oleh UU Hak Kekayaan Intelektual kurang tepat, karena bagaimana menentukan apakah ide tersebut benar-benar lahir dari seseorang.

13.  Masyarakat Indonesia mengenal kepemilikian komunal.
Nilai-nilai komunal yang dianut masyarakat Indonesia yang berkarakter tradisional bergerak bersebarangan dengan logika hak ekonomis pada hak kekayaan intelektual (Putri, 2012).

14. UU Hak Cipta yang dimiliki Indonesia tidak dapat mengakomodasi kekayaan kultural bangsa
Menurut Hayyan UI Hac Kandidat Doktor di Bidang Hukum Universitas Utrecht Belanda, UU HAKI no. 19/2002 tidak bisa mengakomodir kekayaan kultural bangsa. Oleh karena itu, banyak kebudayaan-kebudayaan asli Indonesia yang tidak dapat dipatenkan, karena UU ini mensyaratkan 3 komponen yaitu :
· Dia harus bersifat original atau sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya
· Sebuah ciptaan baru bisa dilindungi bila penciptanya diketahui
· Jangka waktu perlindungan dalam UU Hak Cipta Indonesia itu hanya seumur hidup sang pencipta ditambah 70 tahu setelah yang bersangkutan meninggal



Daftar Pustaka :
Anonim. 2012. Geneva Declaration. Diakses dari  http://www.cptech.org/ip/wipo/genevadeclaration.html [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Departemen Perindustrian. 2007. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA PROFESI DI BIDANG HUKUM.
Hayyan.2009.Klaim Tari Pendet, Kelemahan UU Hak Cipta Indonesia . Diakses dari http://jongjava.com/web/news-story/nasional/339-klaim-tari-pendet-kelemahan-uu-hak-cipta-indonesia [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Martin, B. dalam Yee, D. 2012.Against Intellectual Property. Diakses dari http://danny.oz.au/free-software/advocacy/against_IP.html [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Moglen, Eben. 2003. The Dot Communist Manifesto. Diakses dari http://emoglen.law.columbia.edu/my_pubs/dcm.html [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Putri, V.2012.Kritik Hukum Hak Cipta : Telaah Sosiologi Hukum tentang HaKI. Diakses dari http://vegitya.unsri.ac.id/index.php/posting/30 [Online]. Diakses tanggal 15 November 2012.
Spennemann,C. 2010. Biodiversity and Intellectual Property-The Quest for Coherence. Virtual Institue,UNCTAD.

  

From Palm Oil Company Point of View

Kasus :
Perusahaan Ajeng Mas Sawit Sejahtera (AMSS) membuka lahan seluas 22.000 Ha di Papua.
Kritik dari NGO Yazid Akbar Merdeka (YAM) mengatakan bahwa perusahaan AMSS :
·         Merusak lingkungan
·         Menghilangkan spesies anggrek langka (spesies endemik)
·         Menyengsarakan masyarakat sekitar secara ekonomi
·         Menghilangkan identitas budaya karena pengaruh budaya pendatang

Tanggapan Perusahaan AMSS terhadap Kritik YAM :
1.    Sesuai dengan visi misi perusahaan untuk menjadi produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia maka AMSS berpedoman pada RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yaitu memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan yang meliputi pengelolaan dan operasi yang legal, layak secara ekonomi, berwawasan lingkungan, dan bermanfaat secara sosial.
Berikut ini prinsip dan kriteria RSPO yang harus dipatuhi :
·  Komitmen terhadap transparansi;
·  Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku;
· Pengelolaan perencanaan yang bertujuan untuk mencapai kelayakan finansial dan ekonomis jangka panjang;
·  Penggunaan tata kelola terbaik oleh perusahaan dan pabrik;
Yang dimaksud tata kelola disini adalah sebagai berikut :
a.  Praktek-praktek mempertahankan kesuburan tanah
b.  Meminimalisasi dan mengendalikan erosi dan degradasi tanah
c.  Mempertahankan kualitas dan ketersediaan air permukaan dan air tanah
d.  Penggunaan teknik pemberantasan hama terpadu secara tepat
e. Bahan kimia pertanian digunakan dengan cara-cara tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan atau jika ada penggunaan bahan pertanian yang dikategorikan tipe 1A atau 1B menurut WHO atau bahan-bahan yang termasuk dalam daftar Konvensi Stockholm dan Rotterdam maka perlu dilakuka upaya untuk identifikasi bahan alternatif
· Tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati;
· Pertimbangan tanggung jawab terhadap pekerja dan perorangan serta masyarakat terkena dampak oleh perusahaan dan pabrik;
·  Tanggung jawab pembangunan penanaman baru;
·  Komitmen terhadap perbaikan terus-menerus dalam semua bidang aktifitas.

2.    Sebagai anggota RSPO, AMSS memiliki sertifikasi RSPO yaitu evaluasi kepatuhan terhadap prinsip dan kriteria RSPO dan dalam audit rantai pasok untuk memeriksa bukti kepatuhan dengan persyaratan keterlacakan minyak sawit berkelanjutan. Sertifikasi ini dilakukan oleh pihak ketiga.

3.    Kegiatan AMSS legal secara hukum karena telah memiliki dokumen perijinan seperti ijin lokasi, ijin usaha perkebunan, serta sertifikat HGU atau Hak Guna Usaha.

4.    Kegiatan AMSS juga telah lolos kelayakan lingkungan. Dengan diterbitkannya ijin lokasi berarti AMSS juga telah memiliki sertifikasi AMDAL. Hal ini sesuai dengan prinsip RSPO mengenai tanggung jawab terhadap lingkungan pada kriteria 5.1 yaitu aspek-aspek manajemen perkebunan dan pabrik yang menimbulkan dampak lingkungan diidentifikasi, dan rencana-rencana untuk mengurangi/mencegah dampak negatif dan mendorong dampak positif dibuat, diimplementasikan dan dimonitor untuk memperlihatkan kemajuan yang kontinu.

5.    AMSS melakukan pemberdayaan masyarakat melalui kerjasama kemitraan (penyertaan petani lokal sebagai petani plasma) sehingga AMSS membantu pemerintah dalam meingkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

6.    Perusahaan kami mengembangkan sistem Clean Development Mechanism (CDM) yaitu dengan memanfaatkan gas methane dari limbah minyak kelapa sawit serta menggunakan cangkang sebagai bahan bakar untuk menggantikan bahan bakar dari sumber alam sehingga green house gas emission dapat dikurangi.

7.    Untuk meningkatkan keahlian petani lokal dalam budidaya kelapa sawit serta teknologi pasca panen yang ramah lingkungan, maka AMSS mendirikan pusat-pusat fasilitas asistensi untuk petani dan masyarakat.

8.    Salah satu bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) kami untuk membina hubungan sosial dengan masyarakat yaitu dengan mendirikan klinik, memberikan pengobatan gratis bagi masyarakat kurang mampu, mendirikan rumah ibadah, mendirikan sekolah, memberikan beasiswa, dan menjual minyak goreng dengan harga subsidi pada masyarakat setempat.

9.    Dalam prinsip RSPO mengenai tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumberdaya hayati dan keanekaragaman hayati terdapat kriteria 5.2 yang berisi mengenai komitmen perusahaan kelapa sawit anggota RSPO terhadap spesies-spesies langka, terancam, hampir punah, dan habitat dengan nilai konservasi tinggi, jika ada di dalam perkebunan atau yang dapat terpengaruh oleh manajemen kebun dan pabrik harus diidentifikasi dan konservasinya diperhatikan dalam rencana dan operasi manajemen.
Jika terdapat spesies langka atau terancam, atau habitat dengan nilai konservasi tinggi, maka langkah-langkah perencanaan manajemen dan operasi yang benar harus mencakup:
Memastikan bahwa seluruh persyaratan hukum yang terkait dengan perlindungan spesies atau habitat tersebut di atas dipenuhi
- Menghindari kehancuran dan kerusakan atas habitat-habitat terkait
- Mengontrol setiap kegiatan perburuan, penangkapan ikan atau pemanenan ilegal atau tidak benar dan mengembangkan upaya-upaya yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan konflik antara manusia dan satwa liar (misalnya serbuan hewan liar ke wilayah pemukiman)


Daftar Pustaka
Kampanye Negatif Kelapa Sawit Indonesia. Warta Ekspor Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, DJPEN/MJL/002/06/2011 Edisi Juni.
Naskah Kebijakan (Policy Paper) Kebijakan dan Strategi Dalam Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Secara Berkelanjutan dan Berkeadilan (2010). Direktorat Pangan dan Pertanian Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BAPPENAS.
Prinsip dan Kriteria RSPO Untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan. Dokumen Panduan Naskah Final untuk Kelompok Kerja Kriteria RSPO, Maret 2006.