Kegiatan
Pasca Tambang : Penutupan Tambang
I. Pendahuluan
Setiap
kegiatan pasti menimbulkan dampak, demikian pula dengan kegiatan pertambangan.
Kegiatan pertambangan memiliki dampak positif dan negatif terhadap lingkungan
dan masyarakat diberbagai tingkatan (lokal, nasional, dan global). Salah satu dampak
positif kegiatan pertambangan yaitu peningkatan kesejahteraan dan perekonomian
masyarakat. Kegiatan pertambangan dapat meningkatkan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) dan mendatangkan devisa bagi negara. Sedangkan dampak negatifnya, dapat
berupa bahaya kesehatan bagi masyarakat di sekitar area pertambangan, kerusakan
lingkungan, pencemaran, dan sebagainya.
Berbagai
upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif tersebut telah menjadi
perhatian berbagai kalangan. Di Indonesia sendiri sudah banyak peraturan dan
kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kegiatan pertambangan. Dari mulai
pemberian ijin produksi, produksi, sampai dengan penjualan. Oleh karena
kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang beresiko tinggi, maka pemerintah
melalui peraturan dan kebijakannya telah membatasi pemberian ijin kuasa produksi
pertambangan. Diperlukan serangkaian studi kelayakan yang bersifat
multidisiplin (lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya) seperti AMDAL dan kajian
lainnya, sebelum pemerintah mengeluarkan ijin usaha produksi. Penyelidikan
kelayakan kegiatan tersebut dilakukan meliputi seluruh tahapan kegiatan produksi
pertambangan termasuk pembuatan rencana pasca kegiatan tambang atau penutupan
tambang (mine closure).
II.
Penutupan Tambang
Kegiatan
pertambangan terdiri dari berbagai tahap kegiatan yang terintegrasi. Tahapan
kegiatan tersebut diantaranya adalah :
1.
Tahap Penyelidikan Umum
2.
Tahap Eksplorasi
3.
Tahap Studi Kelayakan, termasuk AMDAL
4.
Tahap Konstruksi, yaitu pembangunan prasarana dan sarana usaha pertambangan
5.
Tahap operasi dan produksi, yang dulu dikenal dengan Tahap Eksploitasi
6.
Tahap Penutupan Tambang (Mine Closure),
termasuk reklamasi, rehabilitasi, dan revegetasi
(Djunaidi,
2008)
Penutupan
tambang merupakan tahap akhir suatu kegiatan eksploitasi tambang. Tahapan ini
penting dan perlu direncanakan dengan baik oleh pemegang kuasa pertambangan
sebagai bentuk tanggung jawabnya atas dampak-dampak yang muncul setelah
kegiatan pertambangan selesai. Penutupan area tambang yang buruk atau bahkan hanya
ditelantarkan, akan menyebabkan masalah lingkungan yang sulit bagi masyarakat
dan pemerintah, dan akhirnya akan merusak citra industri pertambangan itu
sendiri.
Menurut
Budhyono (2009), definisi penutupan tambang adalah suatu proses penghentian kegiatan
pertambangan secara tetap atau menyeluruh dengan tujuan untuk meninggalkan
lingkungan atau lahan bekas area tambang dalam keadaan yang stabil dan aman
bagi kehidupan makhluk hidup. Penghentian kegiatan tambang dapat disebabkan
beberapa faktor seperti :
- telah habis cadangannya
- cadangan bahan galian memiliki nilai jual ekonomis yang lebih rendah dibandingkan harga jual di negara lain
- telah habis batas waktu perijinannya
- alasan ekonomi, seperti kesulitan produksi dan ketidakmampuan mencapai tagret eksplorasi
- adanya perubahan perundang-undangan yang menyebabkan tambang harus ditutup
- adanya pelanggaran, misalnya tentang pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan standar baku mutu lingkungan
- adanya tekanan sosial dari masyarakat atau lembaga non-pemerintah
Perencanaan
dan penyusunan strategi yang menyeluruh, meliputi aspek tenik fisik,
pengembangan masyarakat dan wilayah, serta pengelolaan aset dan lokasi perlu
dilakukan. Oleh karena itu, perusahaan, melalui
peraturan dan undang-undang tentang pertambangan, diwajibkan untuk
membuat dokumen rencana penutupan tambang (RPT) yang didalamnya berisikan :
- Arahan kegiatan
- Kebijakan penutupan
- Pengelolaan aset perusahaan yang meliputi peralatan bangunan, karyawan, lahan, sarana, dan pra sarana pendukung
- Rencana pengembalian wilayah
- Gambaran kondisi pasca tambang
- Analisis tentang dampak penutupan tambang terhadap lingkungan fisik dan ekonomi masyarakat
Selain
sebagai bukti pertanggungjawaban, dokumen RPT juga berperan sebagai alat pengendali
agar tujuan umum penutupan tambang dapat terpenuhi.
III.
Dasar Hukum tentang Penutupan Tambang
Berikut
ini adalah peraturan dan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dan
mengatur kegiatan penutupan tambang :
- UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pasal 113 butir 1c dan 4; pasal 1 butir 6 dan 27; pasal 117; pasal 119; pasal 151
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang
- Peraturan Menteri Kehutan Republik Indonesia Nomor : P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan
- UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
- UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- PP No. 27 thn 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
- Peraturan Pemerintah No. 18 dan 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3
- KepMen PE No 1211-K 1008/M-PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
- Draft Kepres thn 2003 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, Bab IV Pasca Tambang, Pasal 26
IV.
Proses Penutupan Tambang
Proses
penutupan tambang tidak hanya melibatkan perusahaan pertambangan sebagai pelaku
utama yang memiliki kewajiban untuk melaksanakannya sesuai dengan aturan dan
undang-undang yang berlaku. Kegiatan ini melibatkan beberapa stakeholders seperti pemerintah,
masyarakat, dan akademisi. Ketiga stakeholders
tersebut berperan dalam pengawas kegiatan penutupan tambang.
Perusahaan pertambangan sebagai pemilik kuasa pertambangan wajib menanggung seluruh biaya proses penutupan tambang sesuai dengan rencana biaya penutupan tambang yang telah dibuat. Biaya ini timbul dihitung dari sejak produksi sehingga masuk sebagai ongkos atau beban produksi. Untuk menjamin ketaatan perusahaan dalam menjalankan kegiatan penutupan tambang maka perusahaan diwajibkan, berdasarkan peraturan menteri, membayar jaminan biaya yang besarannya sesuai dengan rencana biaya penutupan tambang.
Terdapat beberapa kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan proses penutupan tambang, seperti sebagai berikut :
- Pencapaian dan objektif program penutupan tambang dapat diukur.
- Mengembalikan lahan terganggu akibat kegiatan tambang menjadi lahan berguna yang disepakati berdasarkan AMDAL dan kesepakatan bersama lainnya.
- Kesepakatan bersama dalam pengembangan lahan bekas tambang sesuai sebelum berakhirnya tambang atau aktivitas produksi.
- Kesepakatan penutupan tambang pada pembuatan Rencana Penutupan Tambang harus detil dan bersifat dinamik.
- Ketentuan kesepakatan penutupan tambang harus bersifat spesifik
- Proses reklamasi lahan yang lingkungan fisiknya terganggu sebagai konsekuensi aktivitas penambangan ke kondisi secara fisik aman, stabil untuk jangka waktu lama, kecuali ada gangguan alam. (Anonim 2, 2012)
Selain
harus memenuhi kriteria umum yang disebutkan di atas, kegiatan ini juga harus
menerapkan beberapa prinsip, diantaranya yaitu menyeluruh (comprehensive), berkelanjutan (sustainable),
dan berwawasan lingkungan. Proses penutupan tambang merupakan kegiatan yang
kompleks, karena tidak hanya melibatkan faktor lingkungan tetapi juga faktor
sosial, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu rencana penutupan tambang harus
dibuat secara menyeluruh (comprehensive)
yaitu dengan memerhatikan seluruh aspek yang terkait kegiatan tambang seperti, aspek
teknis, lingkungan, dan sosial serta melibatkan seluruh stakeholders.
Prinsip yang kedua adalah berkelanjutan (sustainable), yaitu bahwa manfaat dari kegiatan penutupan tambang dapat dirasakan secara terus menerus atau berkelanjutan terutama oleh masyarakat lokal, walaupun kegiatan pertambangan sudah tidak ada lagi. Misalnya, dengan mengembangkan potensi kegiatan ekonomi lain selama produksi sehingga masyarakat tidak terlalu bergantung perekonomiannya pada kegiatan tambang.
Prinsip yang terakhir yaitu berwawasan lingkungan. Yang dimaksud dengan berwawasan lingkungan sebenarnya bukan hanya sekedar kegiatan tersebut lolos kajian AMDAL tetapi dalam pelaksanaan kegiatannya juga memperhatikan aspek pengelolaan sumber daya hayati (Anonim 1, 2007). Perusahaan sering kali menerjemahkan kegiatan penutupan tambang hanya sebagai kegiatan reklamasi atau revegetasi lahan bekas tambang saja, padahal kerusakan yang perlu diperbaiki adalah kerusakan ekosistem yang didalamnya terdapat interaksi antara faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi seluruh makhluk hidup yang terdapat dan terkait dengan area tersebut, sedangkan faktor abiotik meliputi seluruh faktor fisik yang menyokong kehidupan seluruh spesies yang terdapat dan terkait dengan area tersebut.
Tujuan penutupan tambang yang paling mendasar adalah mengembalikan kondisi lahan ke kondisi semula, aman, dan stabil bagi kehidupan spesies yang ada di sana. Oleh karena itu, sebagai dasar pembuatan RPT, perusahaan pertambangan hendaknya juga melakukan studi pendahuluan tentang komponen ekosistem yang ada sehingga strategi penutupan tambang yang dibuat dapat diaplikasikan serta sesuai dengan karakteristik ekosistem yang ada. Studi pendahuluan tersebut dapat berupa, mengidentifikasi nilai keanekaragaman hayati yang berada di daerah tersebut (misalnya, mengidentifikasi spesies-spesies endemik atau terancam punah), menilai resiko yang muncul terhadap keanekaragaman hayati tersebut, serta mengukur kondisi fisika dan kimia di lahan tersebut.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang telah dijelaskan sebelumnya, diharapkan rencana kegiatan penutupan tambang sesuai dengan karakteristik area sesungguhnya dan berhasil diaplikasikan. Saat ini, indikator mengenai keberhasilan kegiatan penutupan tambang masih sangat terbatas, namun secara umum keberhasilan kegiatan penutupan tambang dapat dilihat dari beberapa kriteria berikut :
- Rencana Penutupan Tambang (RPT) harus bersifat fleksible mengikuti kondisi sosio politik yang dinamis.
- Mampu menumbuhkan pendapatan daerah dan ekonomi rakyat.
- Mampu mengembangkan keahlian mantan karyawan untuk mendukung keberlangsungan ekonomi daerah.
V.
Masalah dan Tantangan dalam Kegiatan Penutupan
Tambang
Walaupun
peraturan dan kebijakan serta perencanaan mengenai kegiatan penutupan tambang
ini sudah dipersiapkan secara matang, namun tetap saja kenyataannya di lapangan
seringkali bermunculan berbagai masalah yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Berikut ini beberapa paparan masalah yang mungkin muncul dalam kegiatan
penutupan tambang :
- Problematika sosial, terkait dengan ketergantungan ekonomi masyrakat terhadap kegiatan pertambangan
- Kontrak karya pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi yang sering kali diterjemahkan oleh pelaku industri sebagai penghijauan atau penanaman pohon semata
- Saat ini peraturan yang mewajibkan perusahaan melakukan proses penutupan tambang yang benar dan bertanggung jawab tidak dapat menimbulkan konsekuensi hukum jika terjadi pelanggaran
- Belum ada peraturan yang jelas mengenai sampai kapan perusahaan bertanggung jawab dalam pengelolaan maupun pemantauan lingkungan setelah tambang ditutup serta kapan tanggung jawab tersebut beralih ke pemerintah
- Belum ada mekanisme kontrol atau pengawasan yang terpadu terhadap kegiatan penutupan tambang
- Pemerintah kurang tegas dalam menerapkan sanksi kepada perusahaan yang melanggar kewajiban melakukan reklamasi
VI.
Kesimpulan
Uraian
atau penjelasan mengenai kegiatan pasca tambang, khususnya kegiatan penutupan
tambang, dapat disimpulkan melalui skema berikut :
Daftar
Pustaka
Anonim 1. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
[Online]. Diakses dari http://www.dcita.gov.au/cca. Tanggal akses 14 Desember 2012.
Anonim 2. 2012. Penutupan Tambang [Online]. Diakses dari
http://kodokngesot.blogspot.com. Tanggal akses 14 Desember 2012.
Budhoyono, H.T.
2009. Disain Sistem Penutupan Tambang
Mineral Berkelanjutan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Djunaidi, M.
2009. Problematika Sosial dalam Penutupan
Tambang. Jurnal Teknik Dintek. Vol. 1 No. 02 hal 62-71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar